Dikisahkan, bahwa Nabi
Daud as. ketika sedang membaca kitab Zabur, manusia dan jin, burung dan
binatang buas selalu menyimaknya. Rasulullah Saw bersabda tentang Abu Musa
al-Asy’ary “Dia telah diberi seruling dari seruling Daud.”
Dan Mu’adz berkata
kepada Rasulullah Saw, “Bila engkau tahu, engkau mendengar, niscaya aku akan
memperindahkannya untukmu dengan perhiasan yang benar-benar indah.”
Abu Bakr Muhammad ad-Dinawary ad-Duqqy mengisahkan: “Aku sedang berada di
padang pasir, kebetulan aku berjumpa dengan kabilah Arab. Salah seorang di
antara mereka menjamuku. Kulihat di sana ada seorang budak berkulit hitam
sedang diikat dan aku juga melihat beberapa unta yang mati di halaman rumah.
Budak itu berkata padaku,
“Anda malam ini sebagai tamu. Dan Anda di mata tuanku sungguh mulia. Karena itu
tolonglah aku. Dia pasti tidak bisa menolak.”
Maka, kukatakan kepada pemilik rumah,
“Aku tak mau menyantap makananmu, kecuali Anda mau melepaskan ikatan pada budak
ini.”
Maka tuan si budak itu menjawab, ‘Si budak ini telah memiskinkan dan
menghancurkan hartaku.’
Aku bertanya, “Apa yang dilakukan?”
Dia menjawab, “Budakku ini memiliki suara yang merdu. Sedangkan aku hidup
dari tenaga unta-unta ini. Lalu unta ini dibebani dengan beban yang amat berat,
dan berjalan kencang hingga menempuh perjalanan yang seharusnya ditempuh tiga
hari, hanya sehari saja ditempuhnya. Ketika beban-beban itu diturunkan
unta-unta itu pun mati semua. Tapi terserah padamu!’
Tali yang mengikat budak itu pun di lepas. Esok harinya aku ingin mendengarkan
suaranya yang konon merdu itu. Si budak itu diperintah untuk menghalau unta
dengan nyanyian merdunya, menuju sebuah sumur di ujung sana yang biasa untuk
tempat minumnya. Si budak itu pun menghalaunya. Dan unta itu pun menoleh ke
arah wajahnya, sembari membetot tali yang mengikatnya hingga putus.
Sungguh aku tak menduga, kalau aku telah mendengarkan suara yang amat merdu,
kemudian unta itu menderum ke arahku, sampai akhirnya si budak itu
mengisyaratkan agar diam.
Al-Junayd ditanya, “Bagaimana suasana orang yang kondisinya tenang, lalu ketika
mendengarkan Sama’ tiba-tiba hatinya risau.” Maka, al Junayd menjawab,
“Sesungguhnya Allah Swt. ketika berfirman kepada benih dalam perjanjian
pertama, melalui firman-Nya, Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Benar
(Engkau Tuhan kami) - sehingga arwah menjadi segar mendengarkan Kalam. Ketika
mereka mendengarkannya, ingatan akan Sama’ tersebut telah menggerakkan mereka.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Sama’ itu haram bagi orang
awam, karena nafsunya masih ada. Sementara diperbolehkan bagi orang-orang
zuhud, sebab dengan Sama’ mereka meraih mujahadahnya. Seperti bagi kalangan
kita, sangat dianjurkan, karena bisa membuat hati mereka hidup.”
Al-Harits bin Asad
al-Muhasiby berkata, “Tiga perkara, bila kita menjumpainya, kita merasa nikmat,
dan pada ketiganya kita telah kehilangan wajah yang bagus dengan disertai
perlindungan; suara merdu disertai sikap religius; dan persaudaraan yang baik
disertai tepat janji.”
Dzun Nuun al-Mishry ketika ditanya tentang suara merdu, beliau menjawab,
“Perkataan-perkataan dan isyarat-isyarat yang dititipkan Allah kepada setiap
laki-laki yang baik dan perempuan yang baik.” Ditanya pula tentang Sama’,
jawabnya, “Bisikan Haq yang membangkitkan kalbu kepadaYang Haq. Siapa yang
menyimak penuh perhatian dengan sebenarnya akan nyata benar. Dan siapa yang
menyimak dengan nafsu, akan menjadi Zindiq.”
Al-Junayd berkata, “Kasih sayang akan turun kepada orang-orang sufi dalam tiga
tempat:
·
Ketika sedang Sama’.
Sebab mereka tidak menyimak kecuali dari suara yang benar dan mereka tidak
berbicara kecuali dari intuisi.
·
Dan ketika mereka
makan makanan, mereka tidak makan kecuali ketika lapar;
·
Ketika mereka sedang
meraih ilmu, mereka tidak mengingat-ingat kecuali ingat pada sifat para wali.
Al Junayd berkata,
“Sama’ bisa menjadi fitnah bagi yang berambisi. Dan menjadi ringan bagi yang
menjumpainya.”
Dia juga berkata, “Sama’ butuh tiga hal: Zaman, tempat dan sejumlah teman.”
Dulaf as-Syibly ditanya mengenai Sama’, dia menjawab, “Secara lahiriah adalah
fitnah, sedangkan batinnya adalah pelajaran. Siapa yang mengena isyarat, ia
boleh menyimak pelajaran. Jika tidak, berarti ia mengundang fitnah dan
menawarkan terhadap bencana.”
Dikatakan, ”Sama’ tidak layak, kecuali pada orang yang nafsunya telah mati dan
hatinya telah hidup. Nafsunya disembelih dengan pedang mujahadah, sedang
hatinya dihidupkan oleh cahaya keserasian (dengan
Allah Swt).”[pagebreak]
Abu Ya’qub Ishaq an-Nahrajury ditanya soal Sama’, dia menjawab, “Suatu tingkah
laku yang mendorong kembali kepada rahasia jiwa dari sisi peleburan.”
Dikatakan, “Sama’ merupakan nuansa lembut di sisi arwah bagi ahli ma’rifat.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, “Sama’ adalah watak,
kecuali dari arah syariat, dan asing kecuali dari yang benar, dan fimah kecuali
dari sisi pelajaran.”
Disebutkan, Sama’ ada dua macam, “Sama’ dengan syarat adanya pengetahuan dan
kesadaran. Di antara syarat pemiliknya adalah mengenal Asma’ dan Sifat-sifat.
Bila tidak, Sama’ akan menceburkan dalam kekufuran murni. Dan berikutnya adalah
Sama’ dengan syarat adanya tingkah ruhani. Syarat penyimaknya haruslah fana’
dari segala tingkah laku kemanusiaan, dan bersih dari pengaruh-pengaruh
duniawi, dengan menampilkan aturan-aturan hukum hakikat.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Abul Hawary, yang mengatakan, ‘Aku bertanya kepada
Abu Sulaiman tentang Sama’, maka beliau menjawab, ‘Di antara dua yang paling
kucintai dibanding satu’.”
Abu Husain an-Nury ditanya tentang Sufi, maka jawabnya, “Siapa yang mendengar
Sama’, dan memberi pengaruh kepada sebab-sebab yang ada.”
Abu Utsman Said al-Maghriby berkata, “Siapa yang mengaku telah melakukan
penyimakan, sementara dia tidak mendengar suara burung dan gerat-gerit pintu,
serta guncangan angin, maka dia itu adalah si sufi yang mengaku-aku.”
Ibnu Zairy mempunyai seorang syeikh utama dari salah seorang murid al Junayd.
Ketika sedang menghadiri majelis Sama’, maka bila berkenan ia membeberkan
sarungnya dan duduk. Lantas berkata, “Sufi beserta hatinya, walaupun tidak
menganggap kebaikannya.” Dia juga berkata, “Sama’ hanya bagi yang memiliki
nurani hati,” sambil berkata begitu dia berjalan dan mengambil sandalnya.
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai ekstase para Sufi ketika sedang Sama’, dia
berkata, “Mereka menyaksikan makna-makna yang lenyap dari yang lain, lalu Anda
mengisyaratkan kepada mereka yang tertuju padaku, lantas mereka mencegah agar
tidak terlalu gembira. Kemudian datanglah tangis, sehingga kegembiraan itu
berubah tangisan. Di antara mereka ada yang merobek bajunya, ada pula yang
berteriak, ada yang menangis: masing-masing menurut kadar keterkaitan hatinya
(dengan Tuhannya).”
Al-Hushry berkata, “Apa yang harus kulakukan dengan Sama’ yang terputus,
apabila orang yang sedang menyimak memutuskannya? Karena itu selayaknya dalam
penyimakan Anda selalu bersambung, tidak terputus.” Dia juga berkata,
“Seyogyanya ia merasa dahaga selamanya, minum (ruhani) selamanya. Bila minumnya
bertambah, bertambah pula dahaganya.” Mujahid dalam menafsirkan firman Allah
Swt, “Maka, mereka dalam taman surga, senantiasa bergembira.”
(Q.s. Ar-Ruum: 15).
Maksudnya adalah Sama’ terhadap bidadari dengan suara-suaranya yang merdu
sekali:
Kami adalah bidadari-bidadari yang abadi, tak akan pernah mati selamanya. Kami
adalah kenikmatan-kenikmatan yang tak pernah putus selamanya.
Dikatakan, Sama’ adalah panggilan, sedangkan ekstase adalah tujuan. Abu Utsman
Sa’id ash-Sha’luky berkata, “Orang yang menyimak berada antara tirai dan
ketampakan: Tirai mendorong rasa dahaga, sedangkan penampakan mewariskan rasa
riang. Tirai telah melahirkan gerakan para penempuh, yaitu wahana kelemahan dan
ketakberdayaan. Sementara penampakan, melahirkan ketenangan orang-orang yang
sampai kepada-Nya, yaitu wahana istiqamah dan ketenangan. Itulah sifat
penghadiran di hadirat Ilahi. Di dalamnya tiada lagi kecuali layu di bawah
bisikan-bisikan rasa takut bercampur hormat.”
Allah Swt. berfirman:
“Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata, ‘Diamlah
kamu (untuk mendengarkannya)’.”
(AI-Ahqaaf 29).
Abu Utsman Sa’id al-Hiry berkata, “Sama’ ada tiga arah: satu arah bagi para
murid dan para pemula, mereka sama-sama meminta kemuliaan dengan tingkah laku
ruhaninya; dan kami khawatir mereka terkena fitnah.dan riya’. Arah kedua bagi
mereka yang menepati kebenaran, yang menuntut nilai tambah dalam ihwal kondisi
ruhaninya, dan mereka menyimak dari semuanya agar serasi dengan waktu-waktu
mereka. Arah ketiga bagi ahli istiqamah dari kalangan orang-orang yang
ma’rifat. Mereka sama sekali tidak memilih atas apa yang datang dari Allah
dalam hatinya berupa gerak ataupun diam.”
Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz berkata, “Barangsiapa mengaku dirinya terliputi
ketika sedang memahami, yakni dalam Sama’, dan gerakan-gerakan selalu bersifat
naluriah baginya, maka tanda-tandanya adalah dia memperbaiki tempat duduk yang
di sana dia menemukan ekstase.”
Syeikh Abu Abdurrahman berkata, “Aku menyebut hikayat ini kepada Sa’id
al-Maghriby. Lantas beliau berkata, “Inilah yang terindah. Tanda-tandanya yang
benar, tak tersisa dalam suatu majelis kecuali rasa riang dengan majelis
tersebut, dan tak ada yang membatalkan di dalamnya kecuali dia merasa tidak
senang darinya.”
Ibnul Husain berkata, “Sama’ terdiri tiga dimensi: Di antara mereka ada yang
menyimak melalui wataknya; ada pula yang menyimak melalui kondisi ruhaninya;
dan ada yang menyimak melalui Allah Swt.
Orang yang menyimak melalui watak, ada dari kalangan awam maupun khusus. Sebab
salah satu watak manusiawi adalah merasa nikmat mendengarkan suara merdu.
Sedangkan yang menyimak melalui kondisi ruhani, adalah dia yang merenungkan apa
yang tiba padanya, berupa cacian dan khitab, bertemu atau pisah, dekat ataupun
jauh, rasa kecewa terhadap apa yang hilang atau haus terhadap keinginan di masa
depan, menepati janji atau membenarkan/ meyakini janji, merusak terhadap janji
ataupun ingat kesusahan, merasa rindu atau takut berpisah, senang bertemu dan
takut berpisah, atau yang sejenisnya.