Selamat berkunjung di blog ini, jangan lupa tinggalkan komentar anda, terima kasih....
Tampilkan postingan dengan label Sufisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sufisme. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 September 2018

Al Muhasibi




KH.LUKMAN HAKIM
SESUNGGUHNYA kesedihanku —tatkala aku renungkan— sangatlah besar, selubungku amatlah tebal, dan kemurungan menguasaiku. Selama ini aku menjalani kehidupan dengan permohonan, sedangkan kelapangan bagiku jauh untuk disegerakan.

Aku telah mendengar dan melihat, aku telah yakin dan mengerti siapa yang telah Engkau beri pujian dan pertolongan, serta siapa yang telah Engkau segerakan jalan keluar baginya. Lalu, Engkau membersihkan mereka dari segala noda, Engkau pastikan kepadanya belas kasih dan rasa sayang-Mu, serta kerinduan mereka kepada-Mu.
Jika saja kalbuku menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam sesungguhnya aku menjadi seperti itu, karena aku memang begitu terjepit dan keletihan. Aku meminta sesuatu tetapi tidak diberi, sedang aku melihat berbagai macam dan Karya-karya-Mu yang menunjukkan melimpahnya tangan-tangan rahmat-Mu, dan langgengnya kebaikan-Mu yang tak pernah lekang, dan Engkau tidak membuat jiwaku patuh dengan suka rela begabung bersama maqam-maqam yang telah mereka capai.
Aku hanya meminta-Mu —dengan apa yang telah Engkau karuniakan kepada mereka— agar Engkau memasukkan aku bersama-sama mereka dalam petunjuk yang lurus (taufiq) yang sama. Betapa beruntungnya hamba yang Engkau beri pertolongan, segera Engkau sucikan dia dari semua kekotoran dosa di dalam kalbunya. Engkau memastikan bagi hamba itu untuk memiliki penghargaan yang agung dan pemihakan yang tulus (husnaddi’ayah) terhadap-Mu. Juga Engkau karuniai di dalam kalbunya kecintaannya yang murni (shidq al-mahabbah); kerinduan mendalam kepada-Mu dan pertemuan (liqa’) dengan-Mu; berikut rasa takut (khauf) dan kegelisahan yang panjang, penyesalan dan kepekaan kalbunya atas pengabaian dan dosa-dosa yang dia lakukan di masa lalu. Kalbunya begitu tersentuh dan merasakan keintiman berada di dekat-Mu, sehingga memperoleh ektase mitis dengan bermunajat kepada-Mu, dia merasa khawatir jika ada penghalang antara dia dan Engkau.
Maka, sungguh indah kehidupan yang dia jalani pada sisa hidupnya, kecemasan dan perasaannya yang meluap-luap (rughbah) menguasainya, kecintaan dan kerinduannya, — kedua-duanya semakin meningkat, meninggi bersama-sama dengan persepsinya dan terlihat pada dirinya.
Aku telah mencurahkan segala upaya untuk taqarrub kepada-Mu. Di sisi lain seorang hamba telah Engkau beri pertolongan tanpa kekurangan memasuki Kerajaan-Mu atas izinMu. Sementara Engkau tinggalkan aku dalam keadaan fakir yang mengiba, namun pertolongan-Mu kepadaku tidak mengurangi kesempurnaan-Mu. Maka, segerakanlah kebahagiaan bagiku karena penangguhan terkabulnya perminraanku (ijabati) membuatku merasa sedih, dan aku tidak tahu kapan kelapangan bagiku akan tiba?!
Aku merasa gelisah atas pembangkangan yang telah aku lakukan (i’radhi) di masa yang lalu; dan yang menyentuh nuraniku serta mendorong kalbuku luluh adalah pengamatanku (nazhri) akan “Para Pekerja-Mu” yang silih berganti dengan sungguh- sungguh mencari karamah-Mu, mengusung harapan yang tinggi dalam pencapaian Mawahib [karunia yang didapatkan langsung dan-Mu, pent.], dan merasakan nikmat kerinduan yang besar terhadap Diri-Mu. Mereka berpaling dan kehidupan dunia, lebih memilih mencari kedudukan yang tinggi (ma’ali) berada dekat dengan-Mu dengan penuh kesungguhan, tidak ada lagi ketergantungan dalam jiwa-jiwa mereka kepada yang selain dari-Mu. Mereka menjadi mulia bersama-Mu di antara hamba-hamba (‘abid) yang taat.
Maka, aku ini hamba-Mu juga, sebagaimana mereka juga adalah hamba-hamba-Mu yang lebih berbakti. Aku adalah seorang yang fakir dalam kesempitan, sebagaimana mereka yang pernah mengalami saat-saat keterpurukan (su’ul hat). Lalu Engkau menyambut doa mereka dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka, kemudian Engkau menyelamatkan mereka dari moral-moral yang rendah dan amal-amal yang buruk.
Maka, sertakanlah hamba-Mu yang fakir yang penuh harap ini bersama-sama “Para Pekerja-Mu” yang kuat-kuat itu dan orang-orang yang bertobat (al-munibin) yang kembali kepada-Mu, semoga Engkau tidak menunda pemberian nikmat itu walau sekejap mata. Karena, perintah-Mu jika menghendaki sesuatu hanya dengan berfirman: “Kun,” (Jadilah!). Maka, terjadilah ia.
Maka perintahkanlah kepada rasa takut, getir, gentar dan gusar agar selalu berada dalam kalbuku. Perintahkan kepada cinta (hubb) agar mengalahkan semua kegundahan-kegundahanku, dan kepada anggota jasmaniku, agar terbiasa bergerak dengan cepat, kepada hawa nafsuku agar padam dan tertunduk, sampai Engkau membuatku merasakan kebahagiaan dengan nikmatnya ketaatan, kembali ke fitri dengan nikmat abadi di sisi-Mu, dan penglihatan akan Keindahan-Mu.

Selasa, 27 Februari 2018

Peran dan Sejarah Dakwah Kaum Habib Nusantara

Sufinews.com
DALAM sejarah Hejaz, keturunan nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam pemerintahan Arab bahkan setelah keruntuhan Dinasti Othoman di Turki, karena hampir dipastikan corak Negara yang bersifat khilafah bahkan di beberapa bagian dari kerajaan Islam dunia berangsur-angsur mulai
digantikan oleh yang bercirikan Republik atau Nasionalis yang sifatnya territorial, berdasarkan letak kepulauan atau dalam batas-batas tertentu daratan sebagaimana semangat dan watak Demokrasi yang mulai bergaung dari jaman Revolusi Prancis, Yunani di belahan Eropa dan berkembang dengan Revolusi Amerika, sejak itulah Negara Demokrasi menjadi pilihan utama bagi Negara-negara yang masih terjajah oleh Post Kolonialisme. 
Dalam sejarah Hejaz, keturunan nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam pemerintahan Arab bahkan setelah keruntuhan Dinasti Othoman di Turki, karena hampir dipastikan corak Negara yang bersifat khilafah bahkan di beberapa bagian dari kerajaan Islam dunia berangsur-angsur mulai digantikan oleh yang bercirikan Republik atau Nasionalis yang sifatnya territorial, berdasarkan letak kepulauan atau dalam batas-batas tertentu daratan sebagaimana semangat dan watak Demokrasi yang mulai bergaung dari jaman Revolusi Prancis, Yunani di belahan Eropa dan berkembang dengan Revolusi Amerika, sejak itulah Negara Demokrasi menjadi pilihan utama bagi Negara-negara yang masih terjajah oleh Post Kolonialisme. 
Semenjak masa-masa sebelumnya mereka ini mendapat tempat khusus dimata penduduk Hejaz. Mereka dibaiat menjadi penguasa dan imam serta pelindung tanah suci. Dalam tatanan Hejaz, mereka diberikan sebutan Syarif untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Sedangkan diluar Hejaz, dari beberapa golongan ada yang memberikan title Sayyid dan Sayyidah, atau juga dengan sebutan Habaib, dan lain sebagainya untuk memberikan satu tanda bahwa mereka yang diberikan titel ini dianggap masih memiliki kaitan darah dan nasab dengan Nabi Muhammad SAW.
Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatiri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :
Imam (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum Khawariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.
Syaikh (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim.
Habaib (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
Sayyid (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecemerlangan kaum Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.
Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.
Kaum Arab, terutama yang beragama Islam telah sejak berabad lamanya melakukan perniagaan dengan berbagai negara di dunia, yang selanjutnya menciptakan jalur-jalur perdagangan dan komunitas-komunitas Arab baru diberbagai negara. Dalam berbagai sejarah dinyatakan bahwa kaum Arab yang datang ke Indonesia merupakan koloni Arab dari daerah sekitar Yaman dan Persia. Namun, yang dinyatakan berperan paling penting dan ini diperlihatkan dengan jenis madzhab yang ada di Indonesia, dimungkinkan adalah dari Hadramaut. Dan orang-orang Hadramaut ini diperkirakan telah sampai ke Indonesia semenjak abad pertengahan (abad ke-13) sesudah adanya huru-hara di Baghdad.
Secara umum, tujuan awal kedatangan mereka adalah untuk berdagang sekaligus berdakwah, dan kemudian berangsur-angsur mulai menetap dan berkeluarga dengan masyarakat setempat. Dari mereka inilah kemudian muncul banyak tokoh dakwah yang termaktub dalam team Walisongo dan banyak tokoh dakwah islam hingga masa sekarang. Walaupun masih ada pendapat lain seperti menyebut dari Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya itu semua adalah jalur penyebaran para Mubaligh dari Hadramawt yang sebagian besarnya adalah kaum Sayyid (Syarif).
Para sayyid Alawiyin menyebarkan da’wah Islamiyah di Asia Tenggara melalui dua tahap, pertama hijrah ke India. Kemudian pada tahap kedua dari India ke Asia Tenggara, atau langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara melalui pesisir India. Di antara yang hijrah ke India adalah seorang alim syarif Abdullah bin Husein Bafaqih ke kota ‘Kanur’ dan menikahi anak menteri Abdul Wahab dan menjadi pembantunya sampai wafat. Salah seorang Habaib lainnya adalah Syarif Muhammad bin Abdullah Alaydrus yang terkenal di kota Ahmadabad dan Surat. Ia hijrah atas permintaan kakeknya Syarif Syech bin Abdullah Alaydrus. Begitu pula keluarga Abdul Malik yang diberi gelar ‘Azhamat Khan’. Dari keluarga inilah asal keturunan penyebar Islam di Jawa yang disebut dengan Wali Songo. Kemudian dari India, mereka melanjutkan perjalanannya ke Indonesia, yaitu daerah pesisir utara Sumatera yang sekarang dikenal dengan propinsi Aceh.

Rabu, 18 November 2015

Sama' (Mendengar lagu dan Syair) II

Dikisahkan, bahwa Nabi Daud as. ketika sedang membaca kitab Zabur, manusia dan jin, burung dan binatang buas selalu menyimaknya. Rasulullah Saw bersabda tentang Abu Musa al-Asy’ary “Dia telah diberi seruling dari seruling Daud.”
Dan Mu’adz berkata kepada Rasulullah Saw, “Bila engkau tahu, engkau mendengar, niscaya aku akan memperindahkannya untukmu dengan perhiasan yang benar-benar indah.”
Abu Bakr Muhammad ad-Dinawary ad-Duqqy mengisahkan: “Aku sedang berada di padang pasir, kebetulan aku berjumpa dengan kabilah Arab. Salah seorang di antara mereka menjamuku. Kulihat di sana ada seorang budak berkulit hitam sedang diikat dan aku juga melihat beberapa unta yang mati di halaman rumah. Budak itu berkata padaku,
 
“Anda malam ini sebagai tamu. Dan Anda di mata tuanku sungguh mulia. Karena itu tolonglah aku. Dia pasti tidak bisa menolak.”

Maka, kukatakan kepada pemilik rumah,
 
“Aku tak mau menyantap makananmu, kecuali Anda mau melepaskan ikatan pada budak ini.”
 
Maka tuan si budak itu menjawab, ‘Si budak ini telah memiskinkan dan menghancurkan hartaku.’
 

Aku bertanya, “Apa yang dilakukan?”
 Dia menjawab, “Budakku ini memiliki suara yang merdu. Sedangkan aku hidup dari tenaga unta-unta ini. Lalu unta ini dibebani dengan beban yang amat berat, dan berjalan kencang hingga menempuh perjalanan yang seharusnya ditempuh tiga hari, hanya sehari saja ditempuhnya. Ketika beban-beban itu diturunkan unta-unta itu pun mati semua. Tapi terserah padamu!’
 

Tali yang mengikat budak itu pun di lepas. Esok harinya aku ingin mendengarkan suaranya yang konon merdu itu. Si budak itu diperintah untuk menghalau unta dengan nyanyian merdunya, menuju sebuah sumur di ujung sana yang biasa untuk tempat minumnya. Si budak itu pun menghalaunya. Dan unta itu pun menoleh ke arah wajahnya, sembari membetot tali yang mengikatnya hingga putus.
 

Sungguh aku tak menduga, kalau aku telah mendengarkan suara yang amat merdu, kemudian unta itu menderum ke arahku, sampai akhirnya si budak itu mengisyaratkan agar diam.

Al-Junayd ditanya, “Bagaimana suasana orang yang kondisinya tenang, lalu ketika mendengarkan Sama’ tiba-tiba hatinya risau.” Maka, al Junayd menjawab, “Sesungguhnya Allah Swt. ketika berfirman kepada benih dalam perjanjian pertama, melalui firman-Nya, Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Benar (Engkau Tuhan kami) - sehingga arwah menjadi segar mendengarkan Kalam. Ketika mereka mendengarkannya, ingatan akan Sama’ tersebut telah menggerakkan mereka.”

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Sama’ itu haram bagi orang awam, karena nafsunya masih ada. Sementara diperbolehkan bagi orang-orang zuhud, sebab dengan Sama’ mereka meraih mujahadahnya. Seperti bagi kalangan kita, sangat dianjurkan, karena bisa membuat hati mereka hidup.”


Al-Harits bin Asad al-Muhasiby berkata, “Tiga perkara, bila kita menjumpainya, kita merasa nikmat, dan pada ketiganya kita telah kehilangan wajah yang bagus dengan disertai perlindungan; suara merdu disertai sikap religius; dan persaudaraan yang baik disertai tepat janji.”

Dzun Nuun al-Mishry ketika ditanya tentang suara merdu, beliau menjawab, “Perkataan-perkataan dan isyarat-isyarat yang dititipkan Allah kepada setiap laki-laki yang baik dan perempuan yang baik.” Ditanya pula tentang Sama’, jawabnya, “Bisikan Haq yang membangkitkan kalbu kepadaYang Haq. Siapa yang menyimak penuh perhatian dengan sebenarnya akan nyata benar. Dan siapa yang menyimak dengan nafsu, akan menjadi Zindiq.”
Al-Junayd berkata, “Kasih sayang akan turun kepada orang-orang sufi dalam tiga tempat:
·         Ketika sedang Sama’. Sebab mereka tidak menyimak kecuali dari suara yang benar dan mereka tidak berbicara kecuali dari intuisi.
·         Dan ketika mereka makan makanan, mereka tidak makan kecuali ketika lapar;
·         Ketika mereka sedang meraih ilmu, mereka tidak mengingat-ingat kecuali ingat pada sifat para wali.
Al Junayd berkata, “Sama’ bisa menjadi fitnah bagi yang berambisi. Dan menjadi ringan bagi yang menjumpainya.” 
Dia juga berkata, “Sama’ butuh tiga hal: Zaman, tempat dan sejumlah teman.”

Dulaf as-Syibly ditanya mengenai Sama’, dia menjawab, “Secara lahiriah adalah fitnah, sedangkan batinnya adalah pelajaran. Siapa yang mengena isyarat, ia boleh menyimak pelajaran. Jika tidak, berarti ia mengundang fitnah dan menawarkan terhadap bencana.”

Dikatakan, ”Sama’ tidak layak, kecuali pada orang yang nafsunya telah mati dan hatinya telah hidup. Nafsunya disembelih dengan pedang mujahadah, sedang hatinya dihidupkan oleh cahaya keserasian (dengan
 
Allah Swt).”[pagebreak]
 
Abu Ya’qub Ishaq an-Nahrajury ditanya soal Sama’, dia menjawab, “Suatu tingkah laku yang mendorong kembali kepada rahasia jiwa dari sisi peleburan.”
Dikatakan, “Sama’ merupakan nuansa lembut di sisi arwah bagi ahli ma’rifat.”

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, “Sama’ adalah watak, kecuali dari arah syariat, dan asing kecuali dari yang benar, dan fimah kecuali dari sisi pelajaran.”
Disebutkan, Sama’ ada dua macam, “Sama’ dengan syarat adanya pengetahuan dan kesadaran. Di antara syarat pemiliknya adalah mengenal Asma’ dan Sifat-sifat. Bila tidak, Sama’ akan menceburkan dalam kekufuran murni. Dan berikutnya adalah Sama’ dengan syarat adanya tingkah ruhani. Syarat penyimaknya haruslah fana’ dari segala tingkah laku kemanusiaan, dan bersih dari pengaruh-pengaruh duniawi, dengan menampilkan aturan-aturan hukum hakikat.”

Diriwayatkan dari Ahmad bin Abul Hawary, yang mengatakan, ‘Aku bertanya kepada Abu Sulaiman tentang Sama’, maka beliau menjawab, ‘Di antara dua yang paling kucintai dibanding satu’.”
Abu Husain an-Nury ditanya tentang Sufi, maka jawabnya, “Siapa yang mendengar Sama’, dan memberi pengaruh kepada sebab-sebab yang ada.”

Abu Utsman Said al-Maghriby berkata, “Siapa yang mengaku telah melakukan penyimakan, sementara dia tidak mendengar suara burung dan gerat-gerit pintu, serta guncangan angin, maka dia itu adalah si sufi yang mengaku-aku.”

Ibnu Zairy mempunyai seorang syeikh utama dari salah seorang murid al Junayd. Ketika sedang menghadiri majelis Sama’, maka bila berkenan ia membeberkan sarungnya dan duduk. Lantas berkata, “Sufi beserta hatinya, walaupun tidak menganggap kebaikannya.” Dia juga berkata, “Sama’ hanya bagi yang memiliki nurani hati,” sambil berkata begitu dia berjalan dan mengambil sandalnya.

Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai ekstase para Sufi ketika sedang Sama’, dia berkata, “Mereka menyaksikan makna-makna yang lenyap dari yang lain, lalu Anda mengisyaratkan kepada mereka yang tertuju padaku, lantas mereka mencegah agar tidak terlalu gembira. Kemudian datanglah tangis, sehingga kegembiraan itu berubah tangisan. Di antara mereka ada yang merobek bajunya, ada pula yang berteriak, ada yang menangis: masing-masing menurut kadar keterkaitan hatinya (dengan Tuhannya).”

Al-Hushry berkata, “Apa yang harus kulakukan dengan Sama’ yang terputus, apabila orang yang sedang menyimak memutuskannya? Karena itu selayaknya dalam penyimakan Anda selalu bersambung, tidak terputus.” Dia juga berkata, “Seyogyanya ia merasa dahaga selamanya, minum (ruhani) selamanya. Bila minumnya bertambah, bertambah pula dahaganya.” Mujahid dalam menafsirkan firman Allah Swt, “Maka, mereka dalam taman surga, senantiasa bergembira.”
 
(Q.s. Ar-Ruum: 15).

Maksudnya adalah Sama’ terhadap bidadari dengan suara-suaranya yang merdu sekali:
 
Kami adalah bidadari-bidadari yang abadi, tak akan pernah mati selamanya. Kami adalah kenikmatan-kenikmatan yang tak pernah putus selamanya.

Dikatakan, Sama’ adalah panggilan, sedangkan ekstase adalah tujuan. Abu Utsman Sa’id ash-Sha’luky berkata, “Orang yang menyimak berada antara tirai dan ketampakan: Tirai mendorong rasa dahaga, sedangkan penampakan mewariskan rasa riang. Tirai telah melahirkan gerakan para penempuh, yaitu wahana kelemahan dan ketakberdayaan. Sementara penampakan, melahirkan ketenangan orang-orang yang sampai kepada-Nya, yaitu wahana istiqamah dan ketenangan. Itulah sifat penghadiran di hadirat Ilahi. Di dalamnya tiada lagi kecuali layu di bawah bisikan-bisikan rasa takut bercampur hormat.”
 
Allah Swt. berfirman:
“Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata, ‘Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)’.”
 
(AI-Ahqaaf 29).

Abu Utsman Sa’id al-Hiry berkata, “Sama’ ada tiga arah: satu arah bagi para murid dan para pemula, mereka sama-sama meminta kemuliaan dengan tingkah laku ruhaninya; dan kami khawatir mereka terkena fitnah.dan riya’. Arah kedua bagi mereka yang menepati kebenaran, yang menuntut nilai tambah dalam ihwal kondisi ruhaninya, dan mereka menyimak dari semuanya agar serasi dengan waktu-waktu mereka. Arah ketiga bagi ahli istiqamah dari kalangan orang-orang yang ma’rifat. Mereka sama sekali tidak memilih atas apa yang datang dari Allah dalam hatinya berupa gerak ataupun diam.”

Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz berkata, “Barangsiapa mengaku dirinya terliputi ketika sedang memahami, yakni dalam Sama’, dan gerakan-gerakan selalu bersifat naluriah baginya, maka tanda-tandanya adalah dia memperbaiki tempat duduk yang di sana dia menemukan ekstase.”

Syeikh Abu Abdurrahman berkata, “Aku menyebut hikayat ini kepada Sa’id al-Maghriby. Lantas beliau berkata, “Inilah yang terindah. Tanda-tandanya yang benar, tak tersisa dalam suatu majelis kecuali rasa riang dengan majelis tersebut, dan tak ada yang membatalkan di dalamnya kecuali dia merasa tidak senang darinya.”

Ibnul Husain berkata, “Sama’ terdiri tiga dimensi: Di antara mereka ada yang menyimak melalui wataknya; ada pula yang menyimak melalui kondisi ruhaninya; dan ada yang menyimak melalui Allah Swt.
 

Orang yang menyimak melalui watak, ada dari kalangan awam maupun khusus. Sebab salah satu watak manusiawi adalah merasa nikmat mendengarkan suara merdu.
 
Sedangkan yang menyimak melalui kondisi ruhani, adalah dia yang merenungkan apa yang tiba padanya, berupa cacian dan khitab, bertemu atau pisah, dekat ataupun jauh, rasa kecewa terhadap apa yang hilang atau haus terhadap keinginan di masa depan, menepati janji atau membenarkan/ meyakini janji, merusak terhadap janji ataupun ingat kesusahan, merasa rindu atau takut berpisah, senang bertemu dan takut berpisah, atau yang sejenisnya.

Sama' (Mendengar lagu dan Syair) I


Allah Swt berfirman: " Sebab itu sampaikanlah berita-berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik dantaranya." (Q.s.Az-Zumar:7-8).
Huruf alif dan laam pada kata al-Qaul di atas mengandung penger­tian umum dan menyeluruh (ta’mim wal istighraq). Sedangkan dalil di atas menekankan bahwa Allah swt. Memuji kepada mereka karena mengikuti kata-kata paling baik.Allah swt. berfirman: 
"Maka, mereka berada dalam taman surga, senantiasa bergembira." (Q.s. Ar-Ruum:15).
Dalam sebuah tafsir, ditegaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan dalilnya Sama' (mendengarkan dan menyimak).
Ketahuilah, bahwa mendengarkan (Sama') syair dengan nada yang indah, apabila pendengar tidak meyakini, syair tersebut tidak menjurus pada hal-hal yang haram, dan tidak mendengarkan sebagai obyek yang tercela dalam syariat, tidak pula menarik pada emosi hawa nafsu, tidak pula memberi peluang pada nafsunya, maka penyimakan tersebut diperkenankan secara umum.
Tidak ada perbedaan pandangan, adanya beberapa syair yang diden­dangkan di hadapan Rasulullah saw dan Rasul saw. menyimaknya, bahkan tidak mengingkari mereka dalam mendendangkan syair terse­but.
Apabila menyimaknya tanpa nada yang indah diperkenankan, hukum pun tidak berubah, yakni didendangkan dengan nada yang indah. Inilah realita situasionalnya.
Lalu, bagi para penyimak terdorong mencintai kepatuhan dan mengingat apa yang telah dijanjikan Allah swt. bagi hamba-Nya yang bertaqwa, dalam derajat-derajat yang lebih tinggi. Penyimak tersebut dimungkinkan sekali agar bisa menjaga dari kesalahan-kesalahan, menyampaikan kepada hatinya seketika, sebagai kejernihan intuitif, dicintai oleh agama, dan dipilih oleh syariat. Sebab pernah ada sabda Rasulullah saw yang mendekati bait-bait syair, walaupun Rasul saw tidak bermaksud membuat syair.
Anas bin Malik r.a. berkata, "Ketika orang-orang Anshar menggali parit, mereka mendendangkan syair:
Kamilah orang-orang yang baiat kepada Muhammad
untuk berjuang sepanjang hayat.
Kemudian Rasulullah saw menjawab:
Duhai Allah, tiada kehidupan sejati
Melainkan kehidupan akhirat.
Muliakanlah orang-orang Anshar dan Muhajirah

Wacana yang keluar dari Rasul saw tersebut bukanlah wacana syair, tetapi mendekati bahasa syair. Sejumlah ulama salaf dan para tokohnya terbiasa mendengarkan bait-bait syair yang didendangkan dengan lagu.
Di antara yang memper-bolehkan mendendangkan dengan lagu adalah Imam Malik bin Anas, dan Ulama Hijaz. Mereka semua memperkenankan nyanyian.
Sedangkan nyanyian yang digunakan oleh penggembala untuk gembalanya (hida') mereka sepakat atas kebolehannya. Banyak hadist dan atsar sahabat yang berkaitan dengan nyanyian tersebut. Sebuah riwayat dari Ibnu Jurayj, bahwa dia memperkenankan Sama’. Lalu dikatakan padanya, "Bila kelak hari kiamat engkau didatangkan, kemudian didatangkan kebajikan dan keburukanmu, maka pada dua sisi yang mana posisi Sama' Anda?"

Beliau menjawab, "Bukan dalam kebajikan, juga bukan dalam keburukan." Artinya, Jurayj menggolongkan sebagai perbuatan mubah.
Parit (Khandaq) adalah parit yang digali oleh Rasulullah saw bersama para sahabatnya di Madinah al-Munawwarah. Hal itu terjadi pada tahun 626 M, yang dijadikan sebagai benteng. Musuhnya adalah suku Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan. Pertempuran ketika itu disebut dengan Perang Khandaq.

Sementara Imam asy-Syafi'i r.a. tidak mengharamkan penyimakan lagu-lagu syair. Hanya saja makruh bagi orang awam, walaupun lagunya telah digubah, ataupun sepanjang penyimakannya diarahkan untuk permainan yang bisa menolak kesaksian, digunakan untuk hal-­hal yang bisa menjatuhkan harga diri, dan tidak dipertautkan dengan hal-hal yang diharamkan, maka tetap makruh.

Rabu, 11 Maret 2015

Tarekat Alawiyyah


Oleh KH. Luqman Hakim

Tarekat Alawiyyah berbeda dengan tarekat sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada
amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan.

Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad. Juga dapat dikatakan, bahwa tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat Syadziliyah [yang menekankan riyadlah qulub (olah hati) dan batiniah] dan Tarekat Al-Ghazaliyah [yang menekankan riyadlah al-‘abdan (olah fisik)].

Tarekat Alawiyyah merupakan salah satu tarekat mu’tabarah dari 41 tarekat yang ada di dunia. Tarekat ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tarekat ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir – lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir -- , seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat pada abad ke-17 M. Namun dalam perkembangannya kemudian, Tarekat Alawiyyah dikenal juga dengan Tarekat Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Sayyid Abdullah al-Haddad, selaku generasi penerusnya. Sementara nama “Alawiyyah” berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.

Tarekat Alawiyyah, secara umum, adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai saadah atau kaum sayyid – keturunan Nabi Muhammad SAW – yang merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal tarekat ini didirikan, pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid (kaum Hadhrami), atau kaum Ba Alawi, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami.

Tarekat Alawiyyah juga boleh dikatakan memiliki kekhasan tersendiri dalam pengamalan wirid dan dzikir bagi para pengikutnya. Yakni tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu diba’iat atau ditalqin atau mendapatkan khirqah jika ingin mengamalkan tarekat ini. Dengan kata lain ajaran Tarekat Alawiyyah boleh diikuti oleh siapa saja tanpa harus berguru sekalipun kepada mursyidnya. Demikian pula, dalam pengamalan ajaran dzikir dan wiridnya, Tarekat Alawiyyah termasuk cukup ringan, karena tarekat ini hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak (tasawuf ‘amali, akhlaqi). Sementara dalam tarekat lain, biasanya cenderung melibatkankan riyadlah-riyadlah secara fisik dan kezuhudan ketat.

Oleh karena itu dalam perkembangan lebih lanjut, terutama semasa Syekh Abdullah al-Haddad – Tarekat Alawiyyah yang diperbaharui – tarekat ini memiliki jumlah pengikut yang cukup banyak seperti di Indonesia. Bahkan dari waktu ke waktu jumlah pengikutnya terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman. Tarekat Alawiyyah memiliki dua cabang besar dengan jumlah pengikut yang juga sama banyak, yakni Tarekat ‘Aidarusiyyah dan Tarekat ‘Aththahisiyyah.

Biografi Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir
Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir (selanjutnya Imam Ahmad) adalah keturunan Nabi Muhammad SAW melalui garis Husein bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib atau Fathimah Azzahra binti Rasulullah SAW. Ia lahir di Basrah, Irak, pada tahun 260 H. Ayahnya, Isa bin Muhammad, sudah lama dikenal sebagai orang yang memiliki disiplin tinggi dalam beribadah dan berpengetahuan luas. Mula-mula keluarga Isa bin Muhammad tinggal di Madinah, namun karena berbagai pergolakan politik, ia kemudian hijrah ke Basrah dan Hadhramaut. Sejak kecil hingga dewasanya Imam Ahmad sendiri lebih banyak ditempa oleh ayahnya dalam soal spiritual. Sehingga kelak ia terkenal sebagai tokoh sufi. Bahkan oleh kebanyakan para ulama pada masanya, Imam Ahmad dinyatakan sebagai tokoh yang tinggi hal-nya (keadaan ruhaniah seorang sufi selama melakukan proses perjalanan menuju Allah—red).

Selain itu, Imam Ahmad juga dikenal sebagai seorang saudagar kaya di Irak. Tapi semua harta kekayaan yang dimilikinya tak pernah membuat Imam Ahmad berhenti untuk beribadah, berdakwah, dan berbuat amal shaleh. Sebaliknya, semakin ia kaya semakin intens pula aktivitas keruhanian dan sosialnya.

Selama di Basrah, Imam Ahmad sering sekali dihadapkan pada kehidupan yang tak menentu. Misalnya oleh berbagai pertikaian politik dan munculnya badai kedhaliman dan khurafat. Sadar bahwa kehidupan dan gerak dakwahnya tak kondusif di Basrah, pada tahun 317 H Imam Ahmad lalu memutuskan diri untuk berhijrah ke kota Hijaz. Dalam perjalanan hijrahnya ini, Imam Ahmad ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin Ali al-Uraidhi, dan putra terkecilnya, Abdullah. Dan setelah itu ia kemudian hijrah ke Hadhramaut dan menetap di sana sampai akhir hayatnya.

Tapi dalam sebuah riwayat lain disebutkan, sewaktu Imam Ahmad tinggal di Madinah Al-Munawarrah, ia pernah menghadapi pergolakan politik yang tak kalah hebat dengan yang terjadi di kota Basrah. Pada saat itu, tepatnya tahun 317 H, Mekkah mendapat serangan sengit dari kaum Qaramithah yang mengakibatkan diambilnya Hajar Aswad dari sisi Ka’bah. Sehingga pada tahun 318 H, tatkala Imam Ahmad menunaikan ibadah haji, ia sama sekali tidak mencium Hajar Aswad kecuali hanya mengusap tempatnya saja dengan tangan. Barulah setelah itu, ia pergi menuju Hadhramaut.

Jumat, 05 Desember 2014

Bahasa Geram

KH. Mustofa Bisri

Bangsa ini sedang terserang virus apa sebenarnya? Apakah hanya karena panas global? Di rumah, di jalanan, di lapangan bola, di gedung dapur, bahkan di tempat-tempat ibadah, kita menyaksikan saja orang yang marah-marah. Tidak hanya laku dan tindakan, ujaran dan kata-kata pun seolah-olah dipilih yang kasar dan menusuk. Seolah-olah di negeri ini tidak lagi ada ruang untuk kesantunan pergaulan. Pers pun apalagi teve— tampaknya suka dengan berita dan tayangan-tayangan kemarahan.

Lihatlah “bahasa” orang-orang terhormat di forum-forum terhormat itu dan banding-sandingkan dengan tingkah laku umumnya para demonstran di jalanan. Seolah-olah ada “kejumbuhani” pemahaman antara para “pembawa aspirasi” gedongan dan “pembawa aspirasi” jalanan tentang “demokrasi”. Demokrasi yang—setelah euforia reformasi dipahami sebagai sesuatu tatanan yang mesti bermuatan kekasaran dan     kemarahan.

Yang lebih musykil lagi “bahasa kemarahan” ini juga sudah seperti tren pula di kalangan intelektual dan agamawan. Khotbah-khotbah keagamaan, ceramah-ceramah dan makalah-makalah ilmiah dirasa kurang afdol bila tidak disertai dengan dan disarati oleh nada geram dan murka. Seolah-olah tanpa gelegak kemarahan dan tusuk sana tusuk sini bukanlah khotbah dan makalah sejati.
Khususnya di ibu kota dan kota-kota besar lainnya, di hari Jumat, misalnya, Anda akan sangat mudah menyaksikan dan mendengarkan khotbah “ustadz” yang dengan kebencian luar biasa menghujat pihak-pihak tertentu yang tidak sealiran atau sepaham dengannya. Nuansa nafsu atau keangkuhan “Orang Pintar Baru” (OPB) lebih kental terasa dari pada semangat dan ruh nasihat keagamaan dan ishlah.
Kegenitan para ustadz OPB yang umumnya dari perkotaan itu seiiring dengan munculnya banyak buku, majalah, brosur dan selebaran yang “mengajarkan” kegeraman atas nama amar makruf nahi munkar atau atas nama pemurnian syariat Islam. Penulis-penulisnya —yang agaknya juga OPB di samping silau dengan paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat terlalu tinggi menghargai diri sendiri dan terlalu kagum dengan “pengetahuan baru”-nya. Lalu menganggap apa yang dikemukakannya merupakan pendapatnya dan pendapatnya adalah kebenaran sejati satu-satunya. Pendapat-pendapat lain yang berbeda pasti salah. Dan yang salah pasti jahanam.

Dari bacaan-bacaan, ceramah-ceramah, khotbah-khotbah dan ujaran-ujaran lain yang bernada geram dan menghujat sana-sani tersebut pada gilirannya menjalar-tularkan bahasa tengik itu kemana-mana; termasuk ke media komunikasi internet dan handphone. Lihatlah dan bacalah apa yang ditulis orang di ruang-ruang yang khusus disediakan untuk mengomentari suatu berita atau pendapat di “dunia maya” atau sms-sms yang ditulis oleh anonim itu.

Kita boleh beranalisis bahwa fenomena yang bertentangan dengan slogan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah” tersebut akibat dari berbagai faktor, terutama karena faktor tekanan ekonomi, ketimpangan sosial dan ketertinggalan. Namun, mengingat bahwa mayoritas bangsa ini beragama Islam pengikut Nabi Muhammad Saw., fenomena tersebut tetap saja musykil. Apalagi jika para elit agama yang mengajarkan budi pekerti luhur itu justru ikut menjadi pelopor tren tengik tersebut.

Bagi umat Islam, al-khairu kulluhu fittibaa’ir Rasul Saw, yang terbaik dan paling baik adalah mengikuti jejak dan perilaku panutan agung, Nabi Muhammad Saw. Dan ini merupakan perintah Allah. Semua orang Islam, terutama para pemimpinnya, pastilah tahu semata pribadi, jejak-langkah dan perilaku Nabi mereka.
Nabi Muhammad Saw. sebagaimana diperikan sendiri oleh Allah dalam al-Quran, memiliki keluhuran budi yang luar biasa, pekerti yang agung (Qs. 68:4). Beliau lemah lembut, tidak kasar dan kaku (Qs. 3: 159). Bacalah kesaksian para shahabat dan orang-orang dekat yang mengalami sendiri bergaul dengan Rasulullah Saw. Rata-rata mereka sepakat bahwa Panutan Agung kita itu benar-benar teladan. Pribadi paling mulia; tidak bengis, tidak kaku, tidak kasar, tidak suka mengumpat dan mencaci, tidak menegur dengan cara yang menyakitkan hati, tidak membalas keburukan dengan keburukan, tapi memilih memaafkan. Beliau sendiri menyatakan, seperti ditirukan oleh shahabat Jabir r.a,“InnaLlaaha ta’aala lam yab’atsnii muta’annitan...”, Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai utusan yang keras dan kaku, tapi sebagai utusan yang memberi pelajaran dan memudahkan.

Bagi Nabi Muhammad SAW pun, orang yang dinilainya paling mulia bukanlah orang yang paling pandai atau paling fasih bicara (apalagi orang pandai yang terlalu bangga dengan kepandaiannya sehingga merendahkan orang atau orang fasih yang menggunakan kefasihannya untuk melecehkan orang). Bagi Rasulullah Saw. orang yang paling mulia ialah orang yang paling mulia akhlaknya. Wallahu a’lam.


Sabtu, 11 Oktober 2014

Rahasia Al-Fatihah

Oleh : KH. Lukman Hakim

Rasulullah Saw. bersabda: Artinya: “Surat Pembuka AI-Kitab (Al-Fatihah) adalah surat paling utama dalam AI-Qur’an.”
Dalam sabda lain: Artinya: “Ayat Kursi merupakan pemuka (sayid) ayat-ayat Al-Qur’an.”
Begitu pula dengan Surat Yasin: Artinya: “(Surat) Yasin merupakan kalbu Al-Qur’an, dan (Surat) Qul Huwallahu Ahad, sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.”
Hadis ini juga didukung oleh banyak hadis lain yang menjelaskan keutamaan dan keistimewaan surat dan ayat AI-Qur’an, disamping kelebihan pahala bagi yang membacanya. Anda perlu mencari dalam kitab-kitab hadis. Hadis-hadis di atas sekadar mengingatkan Anda mengenal keutamaan sebagian surat Al-Qur’an atas surat yang lain. Apabila Anda mau merenungkan dan merujuk pada sistematika pembagian dan penguraian Al-Qur’an, Allah akan memberikan petunjuk kepada Anda. Sementara, kami membatasi dalam pembagian dan penguraian Al-Qur’an dalam sepuluh macam bagian.

RAHASIA AL-FATIHAH DAN PENJELASAN SEJUMLAH HIKMAH ALLAH
Apabila Anda menganalisa, Anda akan menemukan keagungan Al-Fatihah, dimana terdapat delapan sistem:
(1) Firman Allah Swt.: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.” (Q.s. AI-Fatihah: 1).
Ayat ini merupakan berita tentang Dzat.
(2) Ayat:
Mengungkapkan Sifat, dan sifat-sifat Allah yang khusus. Keistimewaannya, sifat-sifat tersebut menjadi alur seluruh sifat-sifat seperti sifat Al-Ilmu dan Al-Qudrah, serta sifat Iainnya. Sifat tersebut berkaitan dengan makhluk. Para makhluk mendapatkan kasih sayang-Nya, karena sifat tersebut, dan sebaliknya muncul suatu kerinduan dan kecintaan ibadat dan makhluk kepada Allah. Tidak seperti sifat amarah, jika dibandingkan dengan sifat kasih sayang, maka sifat amarah akan melahirkan kegelisahan dan ketakutan, disamping tidak meluaskan pandangan jiwa, sebaliknya malah mencengkeram kalbu.
(3) Ayat: “Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan seluruh semesta alam.” (Q.s. Al-Fatihah: 2).
Ayat ini mengandung dua hal: Pertama: Dasar pujaan, adalah syukur. Puji syukur inilah yang menjadi awal shirathal mustaqim. seakan-akan puji syukur sebagian dari shirathal mustaqim. Sementara, iman secara amaliah juga terbagi menjadi bagian sabar dan syukur. Secara terurai, jika Anda ingin mengetahui Secara detail, Anda dapat membuka Kitab Ihya’ Ulumuddin, dalam bab “Sabar dan Syukur”.
Keutamaan syukur dibanding sabar, seperti keutamaannya kasih sayang dibanding amarah. Rasa syukur muncul dan sukacita dan hentakan kerinduan. Sementara sabar terhadap kehendak Allah muncul dan rasa takut dan pengabdian, disertai cobaan dan kesusahan.
Merambah jalan lurus menuju kepada Allah melalui jalan mahabbah (kecintaan) Iebih utama daripada melalui jalan yang muncul dari khauf (takut). Secara rinci pula rahasia mahabbah dan khauf terdapat dalam Kitab Ihya’. Rasulullah Saw. bersabda: “Yang pertama kali dipanggil ke surga, adalah orang-orang yang selalu memuji kepada Allah dalam setiap kondisi dan situasi.”
Kedua: Mengisyaratkan seluruh Af’al Allah, yang diungkapkan dengan kalimat yang paling ringkas, namun sempurna, karena meliputi seluruh lingkup aktivitas Allah Swt.
Hubungan paling utama dan sifat af’al kepada Allah, adalah hubungan sifat Rububiyah. Ungkapan Rabbul Alamin lebih agung dan sempurna dibandingkan ungkapan Anda: A’lal Alamin atau Khaliqul Alamin.
(4) Firman Allah Swt.:“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (Q.s. Al-Fatihah: 3).
Ayat tersebut mengisyaratkan sifat Allah, pada saat yang lain. Tetapi Anda jangan terburu-buru beranggapan apabila ungkapan ayat tersebut sifatnya mengulang ayat sebelumnya. Sebab ayat Al-Qur’an tidak pemah terulang. Setiap pengulangan itu sendiri, tidak mengandung faedah tambahan Penyebutan “Ar-Rahmah” setelah menyebutkan “Al-Alamin” dan sebelum “Maliki Yaumid Diin”, mengandung dua faedah yang agung dalam keutamaan sifat Ar-Rahmah.
Pertama: Anda memandang makhluk Tuhan semesta alam: Bahwasanya Allah mencipta masing-masing makhluk menurut kesempurnaan ragam dan keutamaannya. Allah juga mendatangkan apa-apa yang dibutuhkan makhluk itu. Salah satu di antara alam yang dicipta adalah alam binatang. Yang terkecil di antara binatang itu antara lain, adalah nyamuk, lalat, laba-laba dan lebah.
Lihatlah nyamuk itu. Bagaimana Allah menciptakan anggota tubuhnya, tidak ubahnya seperti anggota tubuh gajah. Sehingga nyamuk pun memiliki belalai yang memanjang sampai menyentuh kepalanya. Kemudian Allah menunjukkan makanannya, dengan menghisap darah manusia. Anda lihat binatang itu menukikkan belalainya, kemudian ia dapatkan makanannya. Allah juga menciptakan sepasang sayap bagi nyamuk sebagai alat untuk kabur (menghindar) ketika menghadapi bahaya.
Lihat pula (binatang) lalat. Bagaimana Allah menciptakan anggota tubuhnya, dan bagaimana menciptakan dua bola matanya yang terbuka tanpa pelupuk mata. Karena kepalanya yang kecil itu tidak termuati pelupuknya. Padahal pelupuk itu dibutuhkan untuk melindungi mata dari kotoran dan debu. Lihat, bagaimana Allah menciptakan pengganti pelupuknya. berupa tambahan sepasang tangan, selam empat (dua pasang) kakinya. Anda bisa melihatjelas ketika hinggap di tanah, binatang ini selalu mengusap-usap kedua pelupuknya dengan sepasang tangannya untuk membersihkannya dari debu.
Kemudian Anda lihat laba-laba. Bagaimana Allah menciptakan ujung-ujung tubuhnya dan mengajarinya menyulam sarang, menangkap buruannya tanpa sepasang sayap pun. Allah menciptakan pula benangsari yang lengket dan bisa melar memanjang hingga binatang mi bisa menggantungkan tubuhnya pada sarangnya. Disamping juga mampu menjaring mangsanya yang mendekat ke sarang itu, lalu laba-laba ini mengikat mangsanya dengan benangsarinya yang melar dan mulutnya. Ketika mangsanya sudah tidak berdaya, maka ia pun memakannya.
Lihatlah sulaman-sulaman rumah laba-laba, bagaimana Allah menunjukkan sulaman itu benar-benar sesuai dengan kerangka geometrik yang simetris.
Lalu keajaiban yang mengagumkan pada binatang lebah. Bagaimana madu terkumpul dan juga mengalir. Rumah lebah menggambarkan suatu bangunan kokoh, berbentuk segi enam agar sekawanan lebah lainnya tidak berdesakan. Sebab mereka berkumpul memenuhi satu tempat, karena banyaknya. Apabila ia harus membangun rumahnya secara melingkar pasti banyak yang tersisa di luar. Bentuk lingkaran itu tidak punya daya lekat. Begitu pula seluruh bentuk demikian adanya. Berbeda, misalnya dalam bentuk segi empat yang lebih melekat. Namun, karena bentuk lebah itu sendiri agak bulat, sehmgga memungkinkan di dalam rumah-rumahnya ada tempat-tempat yang masih tersisa, seperti di luarnya terdapat lubang-lubang tersisa manakala berbentuk bulat. Tidak ada bentuk yang lebih lekat dalam bentuk lingkaran, kecuali bentuk segi enam Semua itu dapat dikenal (dipelajari) dalam ilmu ukur
Lihatlah bagaimana Allah menunjukkan keistimewaan bentuk tersebut, yang mengidentifikasikan keajaiban ciptaan, kelembutan dan kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya. Hal-hal yang lebih rendah menjadi bukti atas hal-hal yang lebih tinggi. Keunikan-keunikan itu tidak mungkin dihitung dalam jangka waktu yang panjang sekalipun. Dan sebenarnya sangat mudah manakala disandarkan pada hal-hal yang tidak terbuka di balik realita ini.
Hal-hal seperti itu bisa Anda temui dalam bab “Syukur” dan “Mahabbah”. Carilah di sana jika Anda memang pakarnya. Jika Anda tidak mampu, lebih balk Anda memejamkan mata dan realita rahmat Allah, dan jangan pula melihatnya. Anda jangan pula meluangkan waktu untuk menekuni pengetahuan penciptaan secara detail. Sibukkan saja din Anda dengan syair-syair Al-Mutanabbi, keunikan-keunikan ilmu nahwu nya Imam Sibaweh, atau fiqihnya Ibnul Haddad dalam Nawadirit Thalaq, serta menekuni rekayasa perdebatan dalam ilmu kalam. Hal itu lebih layak bagi Anda, sebab citra Anda memang sebatas cita-cita dan keinginan Anda sendiri.
Allah Swt. berfirman: “Dan tidaklah bermanfaat nasihatku jika aku memberi nasihat kepadamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu.” (Q.s. Hud: 34).
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah, maka tidak seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu.” (Q.s. Fathir: 2).
Kembalilah pada tujuan dan maksud peringatan di balik contoh-contoh rahmat Allah yang terdapat pada makhluk di seluruh alam raya ini.
Kedua: Keterkaitannya dengan ayat: “Yang menguasai di hari pembalasan.” (Q.s. AI-Fatihah: 4).
Mengisyaratkan pada rahmat di hari pembalasan di akhirat, sebagai pahala nikmat di sisi Allah Yang Abadi, sebagai pahala atas akidah dan ibadat. Dalam masalah ini, penjelasannya sangat panjang.
Bahwa ayat tersebut bukan merupakan pengulangan —walaupun Anda melihat secara lahiriah terulang— maka Anda perlu melihat dalam latar belakang dan tujuan yang relevan, agar terbuka faedah-faedah pengulangan bagi Anda.
(5) Ayat:“Yang Maha menguasai di hari pembalasan.” (Q.s. Al-Fatihah: 4).
Adalah suatu isyarat menuju akhirat ketikamanusia “kembali”. Ayat ini termasuk bagian yang mendasar, dengan munculnya isyarat terhadap makna Al-Malak (kekuasaan Ilahi) dan Al-Malik (Yang Maha Menguasai), sebagai salah satu dan sekian sifat-sifat keagungan.
(6) Ayat:“Hanya hepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (Q.s. Al-Fatihah: 5).
Ayat ini mengandung dua pokok pengertian yang agung:
Pertama: Ibadat secara ikhlas hanya kepada Allah Swt. Ibadat tersebut merupakan spirit dari shirathal mustaqim (jalan lurus), sebagaimana kami uraikan panjang lebar dalam bab “Jujur dan lkhlas”, serta bab “Pengecaman terhadap Pencari Pangkat dan Riya”, dari Kitab Al-Ihya’.
Kedua: Suatu akidah bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuaii Allah Swt. yang merupakan intisari akidah tauhid. Hal yang demikian, muncul secara bebas dari usaha dan kekuatan baik bersifat potensial maupun aktual, disamping mengenal bahwa Allah itu sendiri dalam keesaanNya, dalam setiap hal. Sementara seorang hamba tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa adanya pertolongan
“Iyyaakana’budu”, menunjukkan periasan jiwa melalui ibadat dan keikhlasan.
Sedangkan “Wa iyyaa kanasta’iina”, menunjukkan pembersihan jiwa dari syirik, dan berpaling pada usaha dan kekuatan.
Kami telah mengingatkan bahwa orientasi merambah shirathal mustaqim terbagi dua: (a) Pembersihan diri dari segala hal yang tidak layak, dan (b) Melakukan segala hal yang layak. Keduanya terkandung dalam ayat tersebut.
(7) Ayat:“Tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus.” (Q.s. Al-Fatihah: 6).
Ayat ini merupakan doa dan permohonan. sekaligus sebagai nurani ibadat. Lebih jelas lagi kami uraikan dalam Kitab Al-Ihya, perihal hajat manusia pada rasa tunduk dan butuh kepada Allah Swt., Inilah yang kami sebut dengan ruh ubudiyah, sekaligus peringatan betapa manusia sangat butuh terhadap hidayah menuju shirathal mustaqim. Karena melalui jalan inilah manusia bisa sampai kepada Allah Swt. sebagaimana kami Sebutkan di atas.
(8) Ayat: “Jalannya orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat atas mereka, dan bukan jalannya orang-orang yang Engkau beri amarah atas mereka, dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat.” (Q.s. AI-Fatihah: 7).
Inilah ayat yang mengingatkan kita atas nikmat-nikmat-Nya yang dianugerahkan kepada hamba-hamba yang terkasih, dan sebaliknya mengingatkan atas siksa serta amarah atas musuh-musuh-Nya, agar muncul rasa cinta dan hormat dari lubuk hati yang dalam. Kami telah menyebutkan di atas bahwa kisah-kisah para Nabi dan musuh-musuh-Nya masing-masing merupakan bagian dari AI-Qur’an.
Dan sistem sepuluh bagian dalam Al-Qur’an, maka Al-Fatihah mengandung delapan substansi esensial: (1) Dzat, (2) Sifat, (3) Af’al, (4) Penyebutan hari akhirat, (5) Shirathal mustaqim dengan dimensi-dimensinya, yakni pembersihan dan periasan jiwa, (6) Penyebutan nikmat terhadap para auliya’ (kekasih Allah), (7) Amarah terhadap musuh-musuh Allah, (8) Penyebutan tempat kembalinya ummat manusia. Dalam kaitan ini muncul dua bidang: (a) Mengalahkan hujjah orang-orang kafir, dan (b) Hukum-hukum fiqih dan para fuqaha’ Masing-masing berkembang dalam Ilmu Kalam dan Ilmu Fiqih.
Kedua bidang tersebut muncul dalam kenyataan sejarah struktur Iimu-ilmu Agama. Namun, disayangkan, munculnya lebih banyak dilatari oleh ambisi harta dan popularitas pangkat belaka.

Minggu, 14 September 2014

Kaidah Tasawuf



KH. Lukman Hakim

Wacana dalam Suatu Hal

Wacana tentang sesuatu adalah cabang datri proyeksi substansi, manfaat, dan materinya melalui ungkapan rasa hati, baik melui upaya maupun  intuisi, agar semuanya kembali padanya dalam masing-masing apa yang terjadi, apakah menolak atau menerima, apakah dalam rangka mencari asal usulnya atau cabangnya saja. Karena itu harus mengajukan semua itu untuk didalami, untuk mengenal maupun menyeleksi, atau pun mencarai isyarat dibalik materinya. Fahamilah ini.


Definisi tentang Materi, Hakikat dan Tasawuf
Substansi sesuatu adalah hakikatnya. Sedangkan hakikatnya adalah yang menunjukkan totalitasnya. Untuk mendefinisikan semua itu harus dengan batasan yang lebih global, atau perumusan, yang lebih jelas, atau melalui penafsiran yang lebih sempurna penjelasannya, mudah difahaminya.
Tasawuf telah didefiniskan, dirumuskan, dan ditafsiri dengan berbagai dimensi, hingga mencapai dua ribu definisi. Semuanya kembali kepada cara menghadap Allah Ta’ala yang benar. Dan berbagai arah menghadap itu ada di dalamnya. Wallahu A’lam.

Perbedaan tentang Hakikat yang Satu dan Definisi Tasawuf
Perbedaan dalam hakikat yang satu, walau pun banyak jumlahnya, menunjukkan adanya  pemahaman yang jauh terhadap keseluruhannya.
Apabila dikembalikan pada asal prinsipnya yang satu, akan mengandung seluruh totalitas jumlah itu menurut pemahaman terhadap prinsip tersebut. Keseluruhan wacana berapresiasi dengan rincian-rincian masalahnya.
Pebngungkapan masing-masing tersebut menrut kadar tujuan yang diraihnya, baik secara ilmiah, amaliyah, haal, rasa, dan sebagainya.
Perbedaan definisi tasawuf bermula dari itu semua, maka, Al-Hafidz Abu Nu’iam al-Ashbahany, ra, -- menurut umumnya kaum Hilyahnya – mendefinisikan dunia Tasawuf menurut pengalaman hilyah jiwanyanya masing-masing – mengaitkan dengan kondisi ruhaninya, dengan mengatakan: “Dan disebutkan: Tasawuf adalah demikian…..”
Saya merasakan, bahwa setiap orang yang memiliki bagian yang benar dalam tawajuuh (menghadap Allah Ta’ala), memiliki bagian dari Tasawuf, dan Ketasawufan masing-masing diukur menurut kebenaran Tawajuhnya. Hendaknya anda memahami.


Tawajjuh yang Benar
Tawajjuh yang benar disyaratkan adanya Ridho Allah Ta’ala atas pelaksanaannya, dengan cara yang ridihoi pula. Dan yang disyarati tidak sah tanpa sah syaratnya. FirmanNya,  “Allah swt, tidak ridho dengan kufurnya para hambaNya.” Karena itu harus mewujudkan Iman. FirmanNya, “Bila kalian bersyukur, maka Allah meridhoi kalian. “ (Az-Zumar, 7), maka harus mengamalkan Islam.
Tasawuf tidak sah tanpa fiqih, karena aturan-aturan Allah secara dzohir tidak bisa dikenal kecuali dari fiqih. Fiqih tidak benar tanpa Tasawuf, karena tidak bias beramal dengan benar dan menghadap Allah dengan benar tanpa Tasawuf.
Tidak ada hasrat yang benar kecuali dengan Iman, tanpa Tasawuf dan Fiqih, hasrat cita tidak akan benar. Karena itu Tasawuf dan Fiqih harus berpadu karena adanya keharusan lazim dalam aturan, sebagaimana lazimnya integrasi antara ruh dan jasad, dan ruh tidak akan ada kecuali dalam jasad dan sebaliknya, sebagaimana tidak ada keghidupan tanpa ruh pada jasad.
Ucapan Imam Malik ra, “Siapa yang bertasawuf tanpa berfiqih maka ia telah zindiq, dan siapa yang berfiqih tanpa tasawuf maka ia fasiq. Siapa yang memadukan keduanya, ia benar-benar mewujudkan kebenaran.”
Saya katakana: “Tindakan zindiq yang pertama, karena ia hanya pasrah pada takdir karena menghilangkan hikmah dan hokum-hukum. Sedangkan kefasikan pada kalimat ekdua, asdalah karena hilangnya amal demi menghadap Allah, dan tidak bias bersih dari maksiat, tidak bias ikhlas, yang disyaratkan dalam beramal Lillah. Sedangkan perwujudan kebenaran pada wacana ketiga, adalah karena penegakan terhadap hakikat dalam kenyataan yang sebenarnya yaitu berpegang teguh pada Allah Ta’ala. Maka kenailah semua itu…”


ASAL USUL TASAWUF
Penyandaran bukti sesuatu pada asal usulnya, dan penegakan bukti yang khusus padanya, akan menolak ucapan orang yang mengingkari hakikat kebenarannya.
Asal usul Tasawuf adalah Maqom Al-Ihsan, yang ditafsirkan oleh Rasulullah saw, dengan “Hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, maka apabila kamu tidak bias melihatNya, sesungguhnya Allah swt, melihatmu.”.
Sebab, makna benarnya Tawajjuh kepada Allah kembali pada hadits tersebut, dan kepadanyalah orientasi Tawajjuh itu terjadi, karena teksnya menunjukkan pada upaya meraih Muroqobah yang dihaharuskan dalam amal ibadah.
Motivasi terhadap Al-Ihsan berarti anjuran pada pernyataannya, sebagaimana Fiqih berkisar pada Maqom Islam, dan Ushul pada Maqom Iman.
Tasawuf merupakan salah satu sendi agama yang diajarkan oleh  Jibril as, kepada Nabi saw, agar diajarkan kepada para sahabatnya – semoga Allah meridhoi mereka semua –
(Dari Kitab Qowaidut Tashawwuf ‘ala Wajhin Yajma’u Bainasy Syari’ah wal-Haqiqah, waYashilul Ushul wal-Fiqh bit-Thariqah)


Senin, 26 Mei 2014

Syukur Bersama Allah

 Syeikh Ahmad ar-Rifa’y

 Riwayat dari Abdullah bin Amr ra:
“Tuhanku mendidikku, dan “Rasulullah saw, masuk ke dalam rumahku, lalu bersabda, “Wahai
Abdullah bin Amr, bukankan aku diberi informasi bahwa sebenarnya dirimu sangat ketat (memaksa diri) dalam sholat malam dan puasa di siang hari?” Aku menjawab, “Saya memang melakukannya…”. Lalu Rasulullah saw, bersabda, “Cukuplah bagimu sebulan itu puasa tiga hari. Satu kebaikan itu sebanding dengan dengan sepuluh kebaikan, maka  (jika anda melakukan puasa tiga hari setiap bulan) sama dengan puasa setahun penuh….” (Hr. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzy, Nasa’I, Ibnu Majah, Daramy dan Ibnu Sa’d) Dia mendidik adabku dengan baik.”
Dalam hadits ini ada rahasia-rahasia:
  1. Adanya berita gembira atas kesinambungan cahaya amal dengan cahaya amal yang lain tanpa terhenti, walau pun ada jarak waktu yang jauh.
  2. Berlipatgandanya pahala amal pada ummat ini, satu kebaikan sebanding dengan sepuluh kebaikan, agar hatinya bangkit untuk amal kebajikan.
  3. Tidak adanya keterpaksaan yang membuat si hamba jadi bosan.
  4. Terus menerus berdzikir hingga hati tak tertimpa kealpaan.
  5. Kepastian iman terhadap janji dan kebajikan  kemuliaan Allah swt.
Semua perilaku tersebut merupakan tingkah kaum ‘arifin yang melepaskan diri dari hasrat duniawi dan ukhrowi, dimana hasrat citanya hanyalah Tuhan mereka. Maka siapa pun yang himmahnya hanyalah Rabb, tiadalagi hasrat lain baginya.
Yahya bin Mu’adz ra,  dalam munajatnya mengatakan:
“Ilahi, bila aku mengenalMu, sesungguhnya Engkau telah memberi petunjuk padaku. Jika aku mencariMu, sesungguhnya karena Engkau menghendakiKu. Jika aku datang kepadaMu, sesungguhnya Engkau memilihku. Jika aku taat padaMu, sesungguhnya karena Engkau memberi taufiq kepadaku. Dan jika  aku kembali kepadaMu, itu karena Engkau menghampiriku.”
Diriwayatkan bahwa Nabi Musa as telah bermunajat:
“Oh Tuhan, bagaimana caraku bersyukur atas nikmat-nikmatMu,  sedangkan setiap rambut yang tumbuh saja ada dua nikmat?”
Allah swt menjawab:
“Wahai Musa! Bila engkau tahu bahwa dirimu sangat  tak berdaya bersyukur kepadaKu,  sesungguhnya engkau benar-benar telah bersyukur kepadaKu….”
Allah swt, mewahyukan kepada Nabi Dawud as:
“Bersyukurlah atas nikmatKu kepadamu…”

Nabi Dawud as, menjawab:
“Ya Allah bagaimana aku bisa bersyukur kepadaMu, sedangkan syukurku kepadaMu itu adalah nikmat teragung bagiku?”
“Bila engkau tahu itu, sebenarnya engkau hambaku paling bersyukur padaKu…” firmanNya dalam wahyu kepadanya.

Kamis, 10 April 2014

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili

 Suatu ketika saat berkelana beliau berkata dalam hati, “Ya Allah, kapankah aku bisa menjadi hamba-Mu yang bersyukur?” Kemudian terdengarlah suara, “Kalau kamu sudah mengerti dan merasa bahwa yang diberi nikmat hanya kamu saja” Beliau berkata lagi, “Bagaimana saya bisa begitu, padahal Engkau sudah memberi nikmat kepada para Nabi, Ulama dan Raja?” Kemudian terdengar suara lagi, “Jika tidak ada Nabi, kamu tidak akan mendapat petunjuk, jika tidak ada Ulama kamu tidak akan bisa ikut bagaimana caranya beribadah, jika tidak ada Raja kamu tidak akan merasa aman. Itu semua adalah nikmat dari-Ku yang kuberikan hanya untukmu”.
Syadziliyah adalah nama suatu desa di benua Afrika yang merupakan nisbat nama Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. Beliau pernah bermukim di Iskandar sekitar tahun 656 H. Beliau wafat dalam perjalanan haji dan dimakamkan di padang Idzaab Mesir. Sebuah padang pasir yang tadinya airnya asin menjadi tawar sebab keramat Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a.
Beliau belajar ilmu thariqah dan hakikat setelah matang dalam ilmu fiqihnya. Bahkan beliau tak pernah terkalahkan setiap berdebat dengan ulama-ulama ahli fiqih pada masa itu. Dalam mempelajari ilmu hakikat, beliau berguru kepada wali quthub yang agung dan masyhur yaitu Syekh Abdus Salam Ibnu Masyisy, dan akhirnya beliau yang meneruskan quthbiyahnya dan menjadi Imam Al-Auliya’.
Peninggalan ampuh sampai sekarang yang sering diamalkan oleh umat Islam adalah Hizb Nashr dan Hizb Bahr, di samping Thariqah Syadziliyah yang banyak sekali pengikutnya. Hizb Bahr merupakan Hizb yang diterima langsung dari Rasulullah saw. yang dibacakan langsung satu persatu hurufnya oleh beliau saw.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. pernah ber-riadhah selama 80 hari tidak makan, dengan disertai dzikir dan membaca shalawat yang tidak pernah berhenti. Pada saat itu beliau merasa tujuannya untuk wushul (sampai) kepada Allah swt. telah tercapai. Kemudian datanglah seorang perempuan yang keluar dari gua dengan wajah yang sangat menawan dan bercahaya. Dia menghampiri beliau dan berkata, ”Sunguh sangat sial, lapar selama 80 hari saja sudah merasa berhasil, sedangkan aku sudah enam bulan lamanya belum pernah merasakan makanan sedikitpun”.
Suatu ketika saat berkelana, beliau berkata dalam hati, “Ya Allah, kapankah aku bisa menjadi hamba-Mu yang bersyukur?”. Kemudian terdengarlah suara, “Kalau kamu sudah mengerti dan merasa bahwa yang diberi nikmat hanya kamu saja”. Beliau berkata lagi, “Bagaimana saya bisa begitu, padahal Engkau sudah memberi nikmat kepada para Nabi, Ulama dan Raja?”. Kemudian terdengarlah suara lagi, “Jika tidak ada Nabi, kamu tidak akan mendapat petunjuk, jika tidak ada Ulama kamu tidak akan bisa ikut bagaimana caranya beribadah, jika tidak ada Raja kamu tidak akan merasa aman. Itu semua adalah nikmat dari-Ku yang kuberikan hanya untukmu”.
Beliau pernah khalwat (menyendiri) dalam sebuah gua agar bisa wushul (sampai) kepada Allah swt. Lalu beliau berkata dalam hatinya, bahwa besok hatinya akan terbuka. Kemudian seorang waliyullah mendatangi beliau dan berkata, “Bagaimana mungkin orang yang berkata besok hatinya akan terbuka bisa menjadi wali. Aduh hai badan, kenapa kamu beribadah bukan karena Allah (hanya ingin menuruti nafsu menjadi wali)”. Setelah itu beliau sadar dan faham dari mana datangnya orang tadi. Segera saja beliau bertaubat dan minta ampun kepada Allah swt. Tidak lama kemudian hati Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. sudah di buka oleh Allah swt. Demikian di antara bidayah (permulaaan) Syekh Abul Hasan As-Syadzili.
Beliau pernah dimintai penjelasan tentang siapa saja yang menjadi gurunya? Sabdanya, “Guruku adalah Syekh Abdus Salam Ibnu Masyisy, akan tetapi sekarang aku sudah menyelami dan minum sepuluh lautan ilmu. Lima dari bumi yaitu dari Rasululah saw, Abu Bakar r.a, Umar bin Khattab r.a, Ustman bin ‘Affan r.a dan Ali bin Abi Thalib r.a, dan lima dari langit yaitu dari malaikat Jibril, Mika’il, Isrofil, Izro’il dan ruh yang agung.

Minggu, 22 Desember 2013

Syekh Ibn ‘Atha’illah

Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad Ibn Muhammad ibn ‘Atha’illah as-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648H/1250M, dan meninggal di Kairo pada 1309M. Julukan al-Iskandari atau as-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.
Sedari kecil, Ibn ‘Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibn ‘Ali al-Anshari al-Mursi, murid dari Abu al-Hasan al-Syadzili, pendiri tarekat al-Syadzili.
Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarekat al-Syadzili.

Ibn ‘Athaillah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Ibn ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.

Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku ibn Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang melegenda ini.

Selasa, 19 November 2013

Taqwa

 Oleh: KH. Mustofa Bisri



Syarat Puasa diwajibkan atas kita orang-orang yang beriman. Kita yang telah berikrar lahir-batin bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Nabi Muhammad SAW utusan Allah.
Sebagai hamba Allah SWT yang telah berikrar, sebenarnya apa pun perintah-Nya, kita tidak perlu dan tidak pantas bertanya-tanya mengapa, untuk apa?. Hamba yang baik justru senantiasa ber-husnuzhzhan, berbaik sangka kepada-Nya. Allah SWT memerintahkan atau melarang sesuatu, pastilah untuk kepentingan kita. Karena Allah SWT Maha Kaya, tidak memiliki kepentingan apa pun. Ia mulia bukan karena dimuliakan, agung bukan karena diagungkan, berwibawa bukan karena ditunduki. Sejak semula, Ia sudah Maha Mulia, sudah Maha Agung, sudah Maha Kaya, sudah Maha Berwibawa

Kalau kemudian Ia menjelaskan pentingnya melaksanakan perintah-Nya atau menjauhi larangan-Nya, semata-mata karena Ia tahu watak kita yang suka mempertanyakan, yang selalu menonjolkan kepentingan sendiri.
Maka, sebelum kita mempertanyakan mengapa kita diperintahkan berpuasa, misalnya, Allah SWT telah berfirman:  “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kalian sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Hamba mukmin di dunia ini, dalam proses menuju ketakwaan kepada Allah SWT. Karena semua kebaikan hamba di dunia dan kebahagiaannya di akherat, kuncinya adalah ketakwaan kepada-Nya. Mulai dari pujian Allah SWT, dukungan dan pertolongan-Nya, penjagaan-Nya, pengampunan-Nya, cinta-Nya, limpahan rejeki-Nya, pematutan amal dan penerimaan-Nya terhadapnya, hingga kebahagiaan abadi di sorga, ketakwaanlah kuncinya.

Kamis, 17 Oktober 2013

Dialog Ibnu Taimiyah - Ibnu Athaillah di Al-Azhar


 Oleh: KH. Lukman Hakim Ph D

Inilah barangkali percakapan yang cukup menarik dan patut ditampilkan antara dua orang cendekiawan terkemuka dalam sejarah Islam. Yang pertama adalah Imam Ahmad Taqiuddin Ibnu Taimiah, seorang faqih ternama yang pendapat-pendapatnya diikuti oleh banyak orang, dan yang kedua adalah imam Ahmad Ibnu Athaillah As-Sakandari, seorang sufi penyair yang juga banyak pengikutnya dan guru besar di Al-Azhar. Dua orang pakar dan budayawan yang sezaman dan hampir bersamaan usianya, yang pertama dilahirkan tahun 660 H di kota Harran, Syria (w. 728 H), dan yang kedua dilahirkan sekitar tahun 658 H di kota Al-Iskandariah (Alexandria), Mesir (w. 709 H)
Juga disebutkan dalam sejarah, bahwa yang pertama adalah “musuh bebuyutan” para sufi, dan yang kedua adalah wakil dan juru bicara para sufi waktu itu. Tak ayal lagi bahwa keduanya merupakan dua tokoh yang saling : “bertentangan” satu sama lain, sebagaimana akan kita lihat dalam tulisan berikut ini.
Kita tahu bahwa Ibnu Taimiah, sang faqih ini selalu dikenal sebagai pengecam para sufi. Kecaman-kecamannya yang amat pedas itu dituliskan dalam beberapa risalahnya, bahkan permusuhannya tarhadap para sufi, menurut sebagian pengamat, kadang-kadang terlalu berlebihan. Namun sebenarnya juga beliau mengakui, bahwa para sufi abad-abad pertama lahirnya tasawuf tak lain adalah para mujahid dan pejuang di jalan Allah dan mereka tidak melakukan sesuatu yang keluar dari Qur’an dan Sunnah.
Jadi sebenarnya ia tidak menolak tasawuf itu sendiri. Hanya saja para sufi di zamannya, menurut beliau, telah banyak menyimpang. Oleh sebab itu kata-kata seperti bid’ah dan syirik sudah biasa ia lontarkan pada mereka, bahkan tuduhan seperti sudah keluar dari Islam dan yang semacam itu telah pula ia lemparkan kepada tokoh-tokoh seperti Al-Hallaj, Al-Bustami, Ibnu Arabi, Ibnu’l Faridh, At-Tilmisani dan lain-lain. Mereka ini disebut sebagai orang-orang yang punya pandangan wahdah, hulul dan ittihad. Namun anehnya, tuduhan-tuduhan yang sama juga dikenakan kepada tokoh-tokoh seperti Abu’l Hasan Asy-Syadzili dan sementara muridnya, meskipun mereka ini sebenarnya jauh dari pandangan wahdah, hulul dan ittihad seperti tadi.