Oleh KH. Luqman Hakim
Tarekat Alawiyyah
berbeda dengan tarekat sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya,
terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani)
dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada
amal, akhlak, dan
beberapa wirid serta dzikir ringan.
Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad. Juga dapat dikatakan, bahwa tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat Syadziliyah [yang menekankan riyadlah qulub (olah hati) dan batiniah] dan Tarekat Al-Ghazaliyah [yang menekankan riyadlah al-‘abdan (olah fisik)].
Tarekat Alawiyyah merupakan salah satu tarekat mu’tabarah dari 41 tarekat yang ada di dunia. Tarekat ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tarekat ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir – lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir -- , seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat pada abad ke-17 M. Namun dalam perkembangannya kemudian, Tarekat Alawiyyah dikenal juga dengan Tarekat Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Sayyid Abdullah al-Haddad, selaku generasi penerusnya. Sementara nama “Alawiyyah” berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.
Tarekat Alawiyyah, secara umum, adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai saadah atau kaum sayyid – keturunan Nabi Muhammad SAW – yang merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal tarekat ini didirikan, pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid (kaum Hadhrami), atau kaum Ba Alawi, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami.
Tarekat Alawiyyah juga boleh dikatakan memiliki kekhasan tersendiri dalam pengamalan wirid dan dzikir bagi para pengikutnya. Yakni tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu diba’iat atau ditalqin atau mendapatkan khirqah jika ingin mengamalkan tarekat ini. Dengan kata lain ajaran Tarekat Alawiyyah boleh diikuti oleh siapa saja tanpa harus berguru sekalipun kepada mursyidnya. Demikian pula, dalam pengamalan ajaran dzikir dan wiridnya, Tarekat Alawiyyah termasuk cukup ringan, karena tarekat ini hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak (tasawuf ‘amali, akhlaqi). Sementara dalam tarekat lain, biasanya cenderung melibatkankan riyadlah-riyadlah secara fisik dan kezuhudan ketat.
Oleh karena itu dalam perkembangan lebih lanjut, terutama semasa Syekh Abdullah al-Haddad – Tarekat Alawiyyah yang diperbaharui – tarekat ini memiliki jumlah pengikut yang cukup banyak seperti di Indonesia. Bahkan dari waktu ke waktu jumlah pengikutnya terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman. Tarekat Alawiyyah memiliki dua cabang besar dengan jumlah pengikut yang juga sama banyak, yakni Tarekat ‘Aidarusiyyah dan Tarekat ‘Aththahisiyyah.
Biografi Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir
Imam Ahmad bin Isa
al-Muhajir (selanjutnya Imam Ahmad) adalah keturunan Nabi Muhammad SAW melalui
garis Husein bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib atau Fathimah Azzahra binti
Rasulullah SAW. Ia lahir di Basrah, Irak, pada tahun 260 H. Ayahnya, Isa bin
Muhammad, sudah lama dikenal sebagai orang yang memiliki disiplin tinggi dalam
beribadah dan berpengetahuan luas. Mula-mula keluarga Isa bin Muhammad tinggal
di Madinah, namun karena berbagai pergolakan politik, ia kemudian hijrah ke Basrah
dan Hadhramaut. Sejak kecil hingga dewasanya Imam Ahmad sendiri lebih banyak
ditempa oleh ayahnya dalam soal spiritual. Sehingga kelak ia terkenal sebagai
tokoh sufi. Bahkan oleh kebanyakan para ulama pada masanya, Imam Ahmad
dinyatakan sebagai tokoh yang tinggi hal-nya (keadaan ruhaniah seorang sufi
selama melakukan proses perjalanan menuju Allah—red).
Selain itu, Imam Ahmad juga dikenal sebagai seorang saudagar kaya di Irak. Tapi semua harta kekayaan yang dimilikinya tak pernah membuat Imam Ahmad berhenti untuk beribadah, berdakwah, dan berbuat amal shaleh. Sebaliknya, semakin ia kaya semakin intens pula aktivitas keruhanian dan sosialnya.
Selama di Basrah, Imam Ahmad sering sekali dihadapkan pada kehidupan yang tak menentu. Misalnya oleh berbagai pertikaian politik dan munculnya badai kedhaliman dan khurafat. Sadar bahwa kehidupan dan gerak dakwahnya tak kondusif di Basrah, pada tahun 317 H Imam Ahmad lalu memutuskan diri untuk berhijrah ke kota Hijaz. Dalam perjalanan hijrahnya ini, Imam Ahmad ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin Ali al-Uraidhi, dan putra terkecilnya, Abdullah. Dan setelah itu ia kemudian hijrah ke Hadhramaut dan menetap di sana sampai akhir hayatnya.
Tapi dalam sebuah riwayat lain disebutkan, sewaktu Imam Ahmad tinggal di Madinah Al-Munawarrah, ia pernah menghadapi pergolakan politik yang tak kalah hebat dengan yang terjadi di kota Basrah. Pada saat itu, tepatnya tahun 317 H, Mekkah mendapat serangan sengit dari kaum Qaramithah yang mengakibatkan diambilnya Hajar Aswad dari sisi Ka’bah. Sehingga pada tahun 318 H, tatkala Imam Ahmad menunaikan ibadah haji, ia sama sekali tidak mencium Hajar Aswad kecuali hanya mengusap tempatnya saja dengan tangan. Barulah setelah itu, ia pergi menuju Hadhramaut.
Awal Perkembangan Tarekat Alawiyyah
Tonggak perkembangan
Tarekat Alawiyyah dimulai pada masa Muhammad bin Ali, atau yang akrab dikenal
dengan panggilan Al-Faqih al-Muqaddam (seorang ahli agama yang terpandang) pada
abad ke-6 dan ke-7 H. Pada masanya, kota Hadhramaut kemudian lebih dikenal dan
mengalami puncak kemasyhurannya. Muhammad bin Ali adalah seorang ulama besar
yang memiliki kelebihan pengetahuan bidang agama secara mumpuni, di antaranya
soal fiqih dan tasawuf. Di samping itu, konon ia pun memiliki pengalaman
spiritual tinggi hingga ke Maqam al-Quthbiyyah (puncak maqam kaum sufi) maupun
khirqah shufiyyah (legalitas kesufian).
Mengenai keadaan spiritual Muhammad bin Ali ini, al-Khatib pernah menggambarkan sebagai berikut: (“Pada suatu hari, Al-Faqih al-Muqaddam tenggelam dalam lautan Asma, Sifat dan Dzat Yang Suci”). Pada hikayat ke-24, para syekh meriwayatkan bahwa syekh syuyukh kita, Al-Faqih al-Muqaddam, pada akhirnya hidupnya tidak makan dan tidak minum. Semua yang ada di hadapannya sirna dan yang ada hanya Allah. Dalam keadaan fana’ seperti ini datang Khidir dan lainnya mengatakan kepadanya: “Segala sesuatu yang mempunyai nafs (ruh) akan merasakan mati .” Dia mengatakan, “Aku tidak mempunyai nafs.” Dikatakan lagi, “Semua yang berada di atasnya (dunia) akan musnah.” Dia menjawab, “Aku tidak berada di atasnya.” Dia mengatakan lagi, “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya (Dia).” Dia menjawab, “Aku bagian dari cahaya wajah-Nya.” Setelah keadaan fana’-nya berlangsung lama, lalu para putranya memintanya untuk makan walaupun sesuap. Menjelang akhir hayatnya, Al- mereka memaksakan untuk memasukkan makanan ke dalam perutnya. Dan setelah makanan tersebut masuk mereka mendengar suara (hatif). “Kalian telah bosan kepadanya, sedang kami menerimanya. Seandainya kalian biarkan dia tidak makan, maka dia akan tetap bersama kalian.”
Setelah wafatnya Muhammad bin Ali, perjalanan Tarekat Alawiyyah lalu dikembangkan oleh para syekh. Di antaranya ada empat syekh yang cukup terkenal, yaitu Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf (739), Syekh Umar al-Muhdhar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf (833 H), Syekh Abdullah al-‘Aidarus bin Abu Bakar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf (880 H), dan Syekh Abu Bakar al-Sakran (821 H).
Selama masa para syekh ini, dalam sejarah Ba Alawi, di kemudian hari ternyata telah banyak mewarnai terhadap perkembangan tarekat itu sendiri. Dan secara umum, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri melalui para tokoh maupun berbagai ajarannya dari masa para imam hingga masa syekh di Hadhramaut.
Pertama, adanya suatu tradisi pemikiran yang berlangsung dengan tetap mempertahankan beberapa ajaran para salaf mereka dari kalangan tokoh Alawi, seperti Al-Quthbaniyyah, dan sebutan Imam Ali sebagai Al-Washiy, atau keterikatan daur sejarah Alawi dan Ba Alawi. Termasuk masalah wasiat dari Rasulullah untuk Imam Ali sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW.
Kedua, adanya sikap elastis
terhadap pemikiran yang berkembang yang mempermudah kelompok ini untuk membaur
dengan masyarakatnya, serta mendapatkan status sosial yang terhormat hingga
mudah mempengaruhi warna pemikiran masyarakat.
Ketiga, berkembangnya
tradisi para sufi kalangan khawwash (elite), seperti al-jam’u, al-farq,
al-fana’ bahkan al-wahdah, sebagaimana yang dialami oleh Muhammad bin Ali
(Al-Faqih al-Muqaddam) dan Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf.
Keempat,
dalam Tarekat Alawiyyah, berkembang suatu usaha pembaharuan dalam mengembalikan
tradisi tarekat sebagai Thariqah (suatu madzhab kesufian yang dilakukan oleh
seorang tokoh sufi) hingga mampu menghilangkan formalitas yang kaku dalam
tradisi tokoh para sufi.
Kelima, bila pada para tokoh
sufi, seperti Hasan al-Bashri dengan zuhd-nya, Rabi’ah al-Adawiyah dengan
mahabbah dan al-isyq al-Ilahi-nya, Abu Yazid al-Busthami dengan fana’-nya,
al-Hallaj dengan wahdah al-wujud-nya, maka para tokoh Tarekat Alawiyyah, selain
memiliki kelebihan-kelebihan itu, juga dikenal dengan al-khumul dan
al-faqru-nya. Al-khumul berarti membebaskan seseorang dari sikap riya’ dan
‘ujub, yang juga merupakan bagian dari zuhud. Adapun al-faqru adalah suatu
sikap yang secara vertikal penempatan diri seseorang sebagai hamba di hadapan
Khaliq (Allah) sebagai zat yang Ghani (Maha Kaya) dan makhluk sebagai
hamba-hamba yang fuqara, yang selalu membutuhkan nikmat-Nya. Secara horizontal,
sikap tersebut dipahami dalam pengertian komunal bahwa rahmat Tuhan akan
diberikan bila seseorang mempunyai kepedulian terhadap kaum fakir miskin.
Penghayatan ajaran tauhid seperti ini menjadukan kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari kaum kelas bawah maupun kaum tertindas (mustadl’afin). Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf misalnya, selama itu dikenal dengan kaum fuqara-nya, sedangkan istri Muhammad bin Ali terkenal dengan dengan ummul fuqara-nya.
Syekh Abdullah al-Haddad dan Tarekat Alawiyyah
Nama lengkapnya Syekh
Abdullah bin Alwi al-Haddad atau Syekh Abdullah al-Haddad. Dalam sejarah
Tarekat Alawiyyah, nama al-Haddad ini tidak bisa dipisahkan, karena dialah yang
banyak memberikan pemikiran baru tentang pengembangan ajaran tarekat ini di
masa-masa mendatang. Ia lahir di Tarim, Hadhramaut pada 5 Safar 1044 H.
Ayahnya, Sayyid Alwi bin Muhammad al-Haddad, dikenal sebagai seorang yang
saleh. Al-Haddad sendiri lahir dan besar di kota Tarim dan lebih banyak diasuh
oleh ibunya, Syarifah Salma, seorang ahli ma’rifah dan wilayah (kewalian).
Peranan al-Haddad dalam mempopulerkan Tarekat Alawiyyah ke seluruh penjuru dunia memang tidak kecil, sehingga kelak tarekat ini dikenal juga dengan nama Tarekat Haddadiyyah. Peran al-Haddad itu misalnya, ia di antaranya telah memberikan dasar-dasar pengertian Tarekat Alawiyyah. Ia mengatakan, bahwa Tarekat Alawiyyah adalah Thariqah Ashhab al-Yamin, atau tarekatnya orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk ingat dan selalu taat pada Allah dan menjaganya dengan hal-hal baik yang bersifat ukhrawi. Dalam hal suluk, al-Haddad membaginya ke dalam dua bagian.
Pertama, kelompok khashshah (khusus), yaitu bagi mereka yang sudah sampai pada tingkat muhajadah, mengosongkan diri baik lahir maupun batin dari selain Allah di samping membersihkan diri dari segala perangai tak terpuji hingga sekecil-kecilnya dan menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan terpuji. Kedua, kelompok ‘ammah (umum), yakni mereka yang baru memulai perjalanannya dengan mengamalkan serangkaian perintah-perintah as-Sunnah. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tarekat Alawiyyah adalah tarekat ‘ammah, atau sebagai jembatan awal menuju tarekat khashshah.
Karena itu, semua ajaran salaf Ba Alawi menekankan adanya hubungan seorang syekh (musryid), perhatian seksama dengan ajarannya, dan membina batin dengan ibadah. Amal shaleh dalam ajaran tarekat ini juga sangat ditekankan, dan untuk itu diperlukan suatu tarekat yang ajarannya mudah dipahami oleh masyarakat awam.
Al-Haddad juga mengajarkan bahwa hidup itu adalah safar (sebuah perjalanan menuju Tuhan). Safar adalah siyahah ruhaniyyah (perjalanan rekreatif yang bersifat ruhani), perjalanan yang dilakukan untuk melawan hawa nafsu dan sebagai media pendidikan moral. Oleh karena itu, di dalam safar ini, para musafir setidaknya membutuhkan empat hal. Pertama, ilmu yang akan membantu untuk membuat strategi, kedua, sikap wara’ yang dapat mencegahnya dari perbuatan haram. Ketiga, semangat yang menopangnya. Keempat, moralitas yang baik yang menjaganya.
2 komentar:
informasi yang sangat bagus gan..!!
obat kutil kelamin
obat sipilis
de nature
theshapellsmuser
thelivingriver
imagecorporative
vrcnh
wsgf2013
healthyiowamen
tgihealthcareerp
selfpromotionpages
juiceharvest
coustellet
kafeeo
djende
undefeated13
investanacreqr
losgatos-hotel
baystreetcentral
videoracconti
kelleighb
acputah
therooftopmovie
Mantep artikelnya gan, ayoo tambah lagi!!!!
obat kutil kelamin
obat herbal kutil kelamin
obat kutil kelamin ampuh
obat kutil kelamin mujarab
obat kutil kelamin herbal
obat kutil kelamin tradisional
obat kutil kelamin tanpa operasi
obat kutil kelamin murah
obat kutil kelamin alami
obat kutil kelamin terbaru
obat kutil kelamin baru
Posting Komentar