KH. Mustofa Bisri
Bangsa ini sedang terserang virus apa sebenarnya? Apakah
hanya karena panas global? Di rumah, di jalanan, di lapangan bola, di gedung
dapur, bahkan di tempat-tempat ibadah, kita menyaksikan saja orang yang
marah-marah. Tidak hanya laku dan tindakan, ujaran dan kata-kata pun
seolah-olah dipilih yang kasar dan menusuk. Seolah-olah di negeri ini tidak
lagi ada ruang untuk kesantunan pergaulan. Pers pun apalagi teve— tampaknya
suka dengan berita dan tayangan-tayangan kemarahan.
Lihatlah “bahasa” orang-orang terhormat di forum-forum
terhormat itu dan banding-sandingkan dengan tingkah laku umumnya para
demonstran di jalanan. Seolah-olah ada “kejumbuhani” pemahaman antara para
“pembawa aspirasi” gedongan dan “pembawa aspirasi” jalanan tentang “demokrasi”.
Demokrasi yang—setelah euforia reformasi dipahami sebagai sesuatu tatanan yang
mesti bermuatan kekasaran dan kemarahan.
Yang lebih musykil lagi “bahasa kemarahan” ini juga sudah
seperti tren pula di kalangan intelektual dan agamawan. Khotbah-khotbah
keagamaan, ceramah-ceramah dan makalah-makalah ilmiah dirasa kurang afdol bila
tidak disertai dengan dan disarati oleh nada geram dan murka. Seolah-olah tanpa
gelegak kemarahan dan tusuk sana
tusuk sini bukanlah khotbah dan makalah sejati.
Khususnya di ibu kota dan kota-kota besar lainnya, di hari
Jumat, misalnya, Anda akan sangat mudah menyaksikan dan mendengarkan khotbah
“ustadz” yang dengan kebencian luar biasa menghujat pihak-pihak tertentu yang
tidak sealiran atau sepaham dengannya. Nuansa nafsu atau keangkuhan “Orang
Pintar Baru” (OPB) lebih kental terasa dari pada semangat dan ruh nasihat
keagamaan dan ishlah.
Kegenitan para ustadz OPB yang umumnya dari perkotaan itu
seiiring dengan munculnya banyak buku, majalah, brosur dan selebaran yang
“mengajarkan” kegeraman atas nama amar makruf nahi munkar atau atas nama
pemurnian syariat Islam. Penulis-penulisnya —yang agaknya juga OPB di samping
silau dengan paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat terlalu tinggi
menghargai diri sendiri dan terlalu kagum dengan “pengetahuan baru”-nya. Lalu
menganggap apa yang dikemukakannya merupakan pendapatnya dan pendapatnya adalah
kebenaran sejati satu-satunya. Pendapat-pendapat lain yang berbeda pasti salah.
Dan yang salah pasti jahanam.
Dari bacaan-bacaan, ceramah-ceramah, khotbah-khotbah dan
ujaran-ujaran lain yang bernada geram dan menghujat sana-sani tersebut pada
gilirannya menjalar-tularkan bahasa tengik itu kemana-mana; termasuk ke media
komunikasi internet dan handphone. Lihatlah dan bacalah apa yang ditulis orang
di ruang-ruang yang khusus disediakan untuk mengomentari suatu berita atau
pendapat di “dunia maya” atau sms-sms yang ditulis oleh anonim itu.
Kita boleh beranalisis bahwa fenomena yang bertentangan
dengan slogan “Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang ramah” tersebut akibat dari berbagai faktor, terutama karena
faktor tekanan ekonomi, ketimpangan sosial dan ketertinggalan. Namun, mengingat
bahwa mayoritas bangsa ini beragama Islam pengikut Nabi Muhammad Saw., fenomena
tersebut tetap saja musykil. Apalagi jika para elit agama yang mengajarkan budi
pekerti luhur itu justru ikut menjadi pelopor tren tengik tersebut.
Bagi umat Islam, al-khairu kulluhu fittibaa’ir Rasul Saw,
yang terbaik dan paling baik adalah mengikuti jejak dan perilaku panutan agung,
Nabi Muhammad Saw. Dan ini merupakan perintah Allah. Semua orang Islam,
terutama para pemimpinnya, pastilah tahu semata pribadi, jejak-langkah dan
perilaku Nabi mereka.
Nabi Muhammad Saw. sebagaimana diperikan sendiri oleh Allah
dalam al-Quran, memiliki keluhuran budi yang luar biasa, pekerti yang agung
(Qs. 68:4). Beliau lemah lembut, tidak kasar dan kaku (Qs. 3: 159). Bacalah
kesaksian para shahabat dan orang-orang dekat yang mengalami sendiri bergaul
dengan Rasulullah Saw. Rata-rata mereka sepakat bahwa Panutan Agung kita itu
benar-benar teladan. Pribadi paling mulia; tidak bengis, tidak kaku, tidak
kasar, tidak suka mengumpat dan mencaci, tidak menegur dengan cara yang
menyakitkan hati, tidak membalas keburukan dengan keburukan, tapi memilih
memaafkan. Beliau sendiri menyatakan, seperti ditirukan oleh shahabat Jabir
r.a,“InnaLlaaha ta’aala lam yab’atsnii muta’annitan...”, Sesungguhnya Allah
tidak mengutusku sebagai utusan yang keras dan kaku, tapi sebagai utusan yang
memberi pelajaran dan memudahkan.
Bagi Nabi Muhammad SAW pun, orang yang dinilainya paling
mulia bukanlah orang yang paling pandai atau paling fasih bicara (apalagi orang
pandai yang terlalu bangga dengan kepandaiannya sehingga merendahkan orang atau
orang fasih yang menggunakan kefasihannya untuk melecehkan orang). Bagi
Rasulullah Saw. orang yang paling mulia ialah orang yang paling mulia
akhlaknya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar