Selasa, 21 Agustus 2012
Nasib Muslim Rohingya di Myanmar Yang Kafir
Konflik Myanmar menyita perhatian dunia internasional akhir-akhir ini. Penindasan yang dialami Muslim Rohingya membuka mata atas sejarah mereka sebagai etnis Myanmar yang tidak diakui. Bahkan tidak saja itu, program pembersihan etnis ditengarai dilakukan pemerintah Myanmar (kini Burma) dengan berbagai metode yang kejam.
Sejarahnya panjang. Sebagai etnis, mereka sudah hidup di sana sejak abad 7 Masehi. Tapi sebagai Muslim dengan nama kerajaan Arakan, mereka sudah mulai ada sejak tahun 1430 sampai 1784 Masehi. Jadi sekitar 3,5 abad mereka dalam kekuasaan kerajaan Muslim hingga mereka diserang oleh Kerajaan Burma, dan dianeksasi oleh Inggris. Setelah itu mereka dibawa menjadi bagian dari British India yang bermarkas di india. Meski India saat itu juga belum merdeka.
Kemudian berjalan bertahun-tahun lamanya sampai tahun 1940-an. Ketika Burma merdeka tahun 1948, ada 137 etnis yang ada di Burma. Sejak itupun, Myanmar tidak mengakui keberadaan mereka sebagai etnis yang ada di tanah Burma. Padahal ketika merdeka, Burma memasukkan negara bagian Arakan sebagai bagian dari Burma, namun setelah itu orang Rohingya atau Muslim Arakan tidak diakui sebagai etnis yang eksis di sana. Jadi ini masalahnya, padahal mereka sudah ada sebelum negara ada. Mereka dinilai minoritas dari segi warna kulit dan bahasa serta dianggap lebih dekat kepada orang Bangladesh. Walaupun mereka bukan orang Bangladesh.
Biarawan Myanmar disebut turut andil menyebarkan kebencian terhadap Muslim Rohingya. Demikian laporan LSM lokal, Arakan Project,
"Beberapa tahun terakhir, para biksu memainkan peranan dalam penolakan masuknya bantuan kepada umat Islam," ungkap Direktur Arakan Project, Chris Lewa.
Dikatakannya, seorang anggota badan kemanusiaan di Sittwe mengungkap sejumlah biksu ditempatkan dekat kamp pengungsi. Mereka memeriksa setiap orang yang berkunjung lantaran khawatir akan memberikan bantuan.
Para pengamat mengatakan, biksu Myanmar terlihat memblokir bantuan internasional yang ditujukan untuk pengungsi muslim. Di Sittwe misalnya, para biksu menolak untuk mengizinkan masuknya bantuan internasional. Menurut mereka, bantuan itu sangat bias.
Amnesty Internasional mengatakan selepas bentrokan Muslim Rohingya kerap mendapat serangan fisik. Bahkan tak jarang jatuh korban.
Dalam kajian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat terkait tragedi kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingya di Myanmar, telah terjadi penyesatann opini dan penggelapan sejarah yang dilakukan oleh Pemerintah Junta Militer Myanmar, yang menyebut bahwa Muslim Rohingya bukanlah orang asli Myanmar. Pernyataan ini sangat bertolak belakang dengan fakta sejarah. Padahal, keberadaan mereka sudah ada jauh sebelum Myanmar merdeka tahun 1948.
Beginilah nasib minoritas muslim di bawah pemimpin mayoritas yang tidak adil.
“Kami meninggalkan Myanmar karena kami diperlakukan dengan kejam oleh militer. Umat Muslim di sana kalau tidak dibunuh, mereka disiksa,” ujar seorang pengungsi, Nur Alam, seperti dikutip BBC, beberapa waktu lalu.
Nur bersama 129 Muslim Rohingya begitu umat Islam yang tinggal di utara Arakan, Myanmar, biasa disebut terpaksa harus meninggalkan tanah kelahirannya. Ia bersama kawan-kawannya nekat melarikan diri dari Myanmar dengan menumpang perahu tradisional sepanjang 14 meter.
Mereka berjejalan di atas perahu kayu dengan bekal seadanya. Akibat mesin perahu yang mereka tumpangi rusak, Muslim Rohingya pun harus rela terkatung-katung di lautan yang ganas.Hingga akhirnya, mereka ditemukan nelayan Aceh dalam kondisi yang mengenaskan. Menurut Nur, mereka terombang-ambing ombak di lautan ganas selama 20 hari.
Kami ingin pergi ke Indonesia, Malaysia, atau negara lain yang mau menerima kami, tutur Nur. Demi menyelamatkan diri dan akidah, mereka rela kelaparan dan kehausan di tengah lautan.
Begitulah potret buram kuam Muslim Rohingya yang tinggal di bagian utara Arakan atau negara bagian Rakhine. Kawasan yang dihuni umat Islam itu tercatat sebagai yang termiskin dan terisolasi dari negara Myanmar atau Burma. Daerah itu berbatasan dengan Bangladesh.
Sejak 1982, Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah di negara itu hanya menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh atau keturunannya.
Terjebak dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan seperti itu, kaum Rohingya pun memilih untuk meninggalkan Myanmar.Tak mudah bagi mereka untuk melepaskan diri dari negara yang dikuasai Junta Militer itu. Tak jarang mereka harus mengalami kekerasan dan penyiksaan oleh pihak keamanan. Setelah mereka keluar dari negara tersebut, mereka tidak diperkenankan untuk kembali.
Selain itu, umat muslim Rohingya seperti terpenjara di tempat kelahirannya sendiri. Mereka tidak bisa bebas bepergian ke mana pun. Meskipun hanya ingin ke kota tetangga saja, pihak militer selalu meminta surat resmi. Saat ini, sekitar 200 ribu Muslim Rohingnya terpaksa tinggal di kamp pengungsi seadanya di Bangladesh.
Sebagian besar dari mereka yang tidak tinggal di tempat pengungsian resmi memilih untuk pergi ke negara lain melalui jalur laut, terutama melalui Laut Andaman. Kemudian, pihak Pemerintah Thailand juga mengabarkan bahwa mereka telah menahan sebanyak 100 orang Rohingya beberapa waktu yang lalu.
Pemerintah negeri Gajah Putih itu menolak menerima mereka sebagai pengungsi. Untuk mengatasi masalah ini, PBB sudah bergerak melalui salah satu organisasinya yang mengurusi pengungsi, UNHCR.
Populasi Muslim Rohingya di Myanmar tercatat sekitar 4,0 persen atau hanya sekitar 1,7 juta jiwa dari total jumlah penduduk negara tersebut yang mencapai 42,7 juta jiwa. Jumlah ini menurun drastis dari catatan pada dokumen Images Asia: Report On The Situation For Muslims In Burma pada Mei tahun 1997. Dalam laporan tersebut, jumlah umat Muslim di Burma mendekati angka 7 juta jiwa.
Mereka kebanyakan datang dari India pada masa kolonial Inggris di Myanmar. Sepeninggal Inggris, gerakan antikolonialisasi di Burma berusaha menyingkirkan orang-orang dari etnis India itu, termasuk mereka yang memeluk agama Islam. Bahkan, umat Muslim di Burma sering sekali menjadi korban diskriminasi.
Pada tahun 1978 dan 1991, pihak militer Burma meluncurkan operasi khusus untuk melenyapkan pimpinan umat Islam di Arakan. Operasi tersebut memicu terjadinya eksodus besar-besaran dari kaum Rohingya ke Bangladesh. Dalam operasi khusus itu, militer tak segan-segan menggunakan kekerasan yang cenderung melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, State Law and Order Restoration Council (SLORC) yang merupakan rezim baru di Myanmar selalu berusaha untuk memicu adanya konflik rasial dan agama. Tujuannya untuk memecah belah populasi sehingga rezim tersebut tetap bisa menguasai ranah politik dan ekonomi. Pada 1988, SLORC memprovokasi terjadinya pergolakan anti-Muslim di Taunggyi dan Prome.
Lalu, pada Mei 1996, karya tulis bernada anti-Muslim yang diyakini ditulis oleh SLORC tersebar di empat kota di negara bagian Shan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap kaum Muslim. Kemudian, pada September 1996, SLORC menghancurkan masjid berusia 600 tahun di negara bagian Arakan dan menggunakan reruntuhannnya untuk mengaspal jalan yang menghubungkan markas militer baru daerah tersebut. Sepanjang Februari hingga Maret 1997, SLORC juga memprovokasi terjadinya gerakan anti-Muslim di negara bagian Karen. Sejumlah masjid dihancurkan, Alquran dirobek dan dibakar.
Umat Islam di negara bagian itu terpaksa harus mengungsi. Burma Digest juga mencatat, pada tahun 2005, telah muncul perintah bahwa anak-anak Muslim yang lahir di Sittwe, negara bagian Rakhine (Arakan) tidak boleh mendapatkan akta kelahiran. Hasilnya, hingga saat ini banyak anak-anak yang tidak mempunyai akta lahir. Selain itu, National Registration Cards (NRC) atau kartu penduduk di negara Myanmar sudah tidak diberikan lagi kepada mereka yang memeluk agama Islam.
Mereka yang sangat membutuhkan NRC harus rela mencantumkan agama Buddha pada kolom agama mereka. Bahkan, Pemerintah Myanmar sengaja membuat kartu penduduk khusus untuk umat Muslim yang tujuannya untuk membedakan dengan kelas masyarakat yang lain. Umat Muslim dijadikan warga negara kelas tiga.
Umat Islam di negera itu juga merasakan diskriminasi di bidang pekerjaan dan pendidikan. Umat Islam yang tidak mengganti agamanya tak akan bisa mendapatkan akses untuk menjadi tentara ataupun pegawai negeri. Tak hanya itu, istri mereka pun harus berpindah agama jika ingin mendapat pekerjaan.
Pada Juni 2005, pemerintah memaksa seorang guru Muslim menutup sekolah swastanya meskipun sekolah itu hanya mengajarkan kurikulum standar, seperti halnya sekolah negeri, pemerintah tetap menutup sekolah itu. Sekolah swasta itu dituding mengajak murid-muridnya untuk masuk Islam hanya karena sekolah itu menyediakan pendidikan gratis. Selain itu, pemerintah juga pernah menangkap ulama Muslim di Kota Dagon Selatan hanya karena membuka kursus Alquran bagi anak-anak Muslim di rumahnya.
Ya Allah .. berilah kemuliaan pada mereka.
Ampunilah dosa-dosa mereka.
Angkatlah derajatnya
Musnahkanlah kesengsaraannya
Masukkanlah mereka dalam surga-Mu kelak.
Amien
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar