Oleh: KH. Lukman Hakim Ph D
Diantara tudingan yang dilontarkan oleh mereka yang anti tasawuf
adalah kata-kata atau wacana yang muncul dari Ulama sufi yang dianggap
menyimpang dari Qur’an dan Sunnah. Kedalaman-kedalaman Hikmah yang
muncul dari ucapan para Sufi ternyata diartikan secara general
dan tekstual begitu saja sehingga menimbulkan salah paham, baik bagi
para Sufi pemula maupun mereka yang sejak awal mencari-cari kesalahan
dan kelemahan Tasawuf.
Syeikh Abdul Qadir Isa al-Halaby, menulis
secara khusus untuk menjawab mereka yang kontra dengan masalah ini dalam
kitabnya Haqaiq ‘Anit-Tashawwuf. Katanya:
Apa yang kita lihat dalam
kitab-kitab Tasawuf ada beberapa hal yang tampak bertentangan dengan
lahiriyahnya nash Syari’at. Hal itu bisa disebabkan oleh latar belakang
berikut:
Pertama, wacana itu dipalsukan oleh mereka yang kontra,
kemudian disandarkan pada Sufi tertentu. Para pemalsu ini muncul dari
kaum Zindiq dan mereka yang dengki dengan dunia Sufi, serta musuh-musuh
Islam.
Kedua, memang wacana itu benar adanya, tetapi untuk
memahaminya membutuhkan takwil. Karena para Sufi berbicara dengan bahasa
isyarat, metafora atau peribahasa, sebagaimana kita jumpai pada
kata-kata dalam bahasa Arab yang penuh dengan metafor, seperti misalnya
dalam Al-Qur’an ada ayat:
Dan firman Allah Ta’ala:
“Dan bertanyalah pada desa”
(maksudnya penduduk desa)
“dan apakah orang yang sudah mati kemudian Kami hidupkan?”
(Al An-am 122) (maksudnya adalah matinya hati, lalu Allah mengghidupkannya)
“Agar kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya”
(maksudnya dari kegelapan kekafiran menuju cahaya iman)
Dan
banyak ayat Al-Qur’an yang membutuhkan takwil, tidak dipahami begitu
saja menurut tekstualnya, karena kebiasaan sastra Arab yang menggunakan
kekuatan bahasa metaphor. Jika kita fahami indikator dan makna dibalik
ayat tersebut baru kita menerima takwil yang sesungguhnya, sehingga
unsur kontradiktif bisa sirna.
Seperti dalam suatu ayat:
“Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang kamu cintai.” (Al-Qoshosh: 56)
Dan di ayat lain disebutkan:
“Dan sesungguhnya kamu menunjukkan kepada jalan yang lurus” (Asy-Syuro: 52)
Bagi
orang yang tidak memahami tafsir seakan-akan dua Nash itu bertentangan,
karena ayat pertama menafikan Rasul SAW dari pemberi hidayah, dan ayat
kedua Rasul SAW berhak memberi petunjuk. Tetapi kalau kita bertanya
kepada ahli dzikr pasti terjawab, bahwa pada ayat pertama bermakna
sebagai pencipta hidayah, dan ayat kedua bermakna sebagai pemberi ajaran
tentang hidayah. Sehingga kedua Nash tersebut tidak bertentangan.
Banyak
pula kita jumpai dalam Hadits-hadits Nabi saw, yang tidak bisa difahami
menurut tekstualnya, tetapi harus ditakwili dengan pemahaman yang
selaras dengan syariat dan relevan dengan Al-Qur’an. Dalam konteks
inilah Asy-Sya’roni menegaskan: “Para ahli kebenaran sepakat untuk
mentakwili hadits-hadits Sifat, seperti hadits: “Tuhan (Tabaroka
wa-Ta’ala) kita turun setiap malam ke langit dunia sampai tersisa
sepertiga malam terakhir, lalu befrirman: “Siapa yang berdoa kepadaKu
niscaya Aku kabulkan…Siapa yang meminta kepadaKu niscaya Aku beri….Siapa
yang memohon apmunan kepadaKu niscaya Aku ampuni” (Hr. Bukhari dan
Muslim)
Sementara mereka yang tersesat memaknai sesuai dengan
teksnya, dan berkata di atas podium, lalu ia dari podium itu, sembari
berkata kepada publik: “Tuhanmu turun dari KursiNya ke langit seperti
saya turun dari podiumku ini.” Jelas, pandangan ini sangat bodoh dan
menyesatkan. (lihat Attashawwuful Islamy was-Sya’rany, Thoha Abdul Baqi
Surur, hal 105)
Misalnya pula dalam hadits Nabi, “Sesungguhnya Allah menjadikan Adam menurut rupaNya.” (Hr. Muslim)
Menurut
Ibnu Hajar Al-Haitsamy ra, harus ditakwili: “Benar bahwa dlomir (kata
ganti) itu kembali kepada Allah Ta’ala sebagaimana lahiriahnya ayat. Dan
hal itu harus ditegaskan dimaksud dengan “rupa” adalah “Sifat”. Yakni
sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan Adam menurut Sifat-sifatNya,
antara lain sifat Ilmu, Qudrat dan lain sebagainya. Hal ini dikuatkan
hadits Aisyah ra, “Akhlak Rasulullah saw, adalah Al-Qur’an.” (hr.
Musmim) Dan hadits, “Berakhlaklah dengan Akhlaq-akhlak Allah Ta’la”.
Indikasi
hadits tersebut sepenuhnya adalah mensucikan akhlaq dan sifat-sifatnya
dari segala kekuarangan agar bisa menjadi asas bagi semainya Akhlaq
Tuhannya, yakni Sifat-sifatNya. Sebab kalau tidak ditakwili dengan Sifat
itu maka akan terjadi kontradiktif antara Yang Maha Qodim dengan yang
hadits (baru).
Dengan statemen ini ditegaskan bahwa hadits
tersebut memberikan pujian pada Adam as, dimana Allah memberikan
sifat-sifat pada Adam seperti Sifat-sifat Allah Ta’ala. Karena itu
sebagaimana pandangan para Ulama, haruslah ditakwili pada hadits yang
kata gantinya tersebut langsung pada Allah Ta’ala. Berbeda dengan mereka
yang sesat memahami hadits tersebut, semoga Allah melindungi kita dari
semua itu.
Al-‘Allamah al-Munawi dalam syarahnya terhadap
Al-Jami’ush-Shoghir mengatakan, mengenai hadits Nabi saw, “Sesungguhnya
Allah berfirman di hari kiamat, “Wahai manusia Aku sakit tai kamu tidak
menjengukKu. Manusia berkata, “Bagaimana aku menjengukMu, sedangkan
Engkau adalah Tuhan alam semesta?” Allah menjawab, “Ketahuilah jika
hambaKu si fulan sakit lalu kenapa tidak menjenguknya? Ketahuilah,
sesungguhnya jika kamu menjenguk si fulan, niscaya kamu menemuiKu di
sisi fulan itu….(sampai akhir hadits, Hr Muslim).
Jika
hadits Rasulullah saw, perlu ditakwili, padahal hadits tersebut telah
mencapai tingkat sastra tertinggi bahkan paripurna sebagai kalimat untuk
mengetahui makna terdalamnya agar dipahami ummatnya, tentu saja setiap
ilmu pengetahuan, juga memiliki istilah-istilah (terminologi) khusus
yang membutuhkan uraian dan penafsiran. Apakah ahli fisika faham akan
istilah kedokteran? Apakah tukang jahit mengenal istilah otomotif?
Bagi
kaum Sufi memiliki istilah-istilah khusus yang perlu ulasan pula,
sehingga untuk memahaminya perlu berguru pada mereka agar tidak salah
memahami wacananya, agar pemahamannya tidak melenceng dari Al-Qur’an dan
Sunnah, tidak menyimpang dari syariat, karena para Ulama Sufi itulah
yang tahu benar spirit terdalam dibalik hakikatnya. Sampai sebagaian
kaum Arifin mengatakan, “Kami adalah kaum yang melarang orang lain yang
tidak mengikuti Thariqat kami, menganalisa kitab-kitab kami”. Karena
tujuan menulis kitab-kitab tersebut memang diperuntukkan kalangan Sufi,
sementara orang yang tidak mengenal thariqat Sufi biasanya antipati lalu
menjauhi bahkan memusuhi. Karena manusia itu musuh bagi kebodohannya
sendiri. Sayyid ali bin Wafa ra, mengatakan, “Siapa yang menulis
ma’rifat dan rahasia-rahasia, sesungguhnya tidak ditulis untuk publik,
bahkan mereka melarang membacanya kalau mereka bukan ahlinya.”
Tetapi
bahwa kaum Sufi yang sangat hati-hati menguraikan apa yang hendak
dikatakan bagi mereka yang tidak aham, sama sekali bukan tergolong orang
yang “menyembunyikan ilmu”. Semata dikawatirkan jika hal itu
dipublikasi malah menjadikan salah paham, bahkan seringkali malah
dipahami melenceng dari hakikatnya. Lalu terjadilah kontradiksi dan
pertentangan.
Sayyidina Ali karromallahu Wajhah mengatakan,
“Sampaikan kepada manusia sesuai dengan pengetahuan mereka, apakah
kalian senang jika mereka mendustakan Allah dan RasulNya?”
Syeikh
zarud ra, mengatakan, “Dalam disiplin ilmu, ada yang umum ada yang
khusus, hal yang sama dalam dunia tasawuf. Seharusnya yang berifat umum
itu seputar hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan amaliyah dan
muamalat, dan selebihnya disampaikan menurut kemampuan orang per-orang.
Al-Junaid
pernah ditanya, “Ada dua orang bertanya kepada anda tenang satu masalah
yang sama, tapi anda menjawabnya berbeda?” Dia menjawab, “Jawaban itu
menurut kadar si penanya. Rasulullah saw, bersabda, “Kami diperintahkan
untuk bicara pada manusia menurut kadar akalnya.” (hr. Ad-Dailamy).
Karena
itu Syeikh Muhyididin Ibnu ‘Araby mengatakan, dalam Bab 54 pada
kitabnya Al-Futuhatul Makkiyyah, “ Ketahuilah bahwa kaum sufi (Ahlullah)
tidak membuat istilah-istilah dan isyarat hanya untuk mereka, karena
mereka mengenal kebenaran secara gamblang. Tetapi mereka membuat istilah
dan isyarat itu agar mencegah salah faham, semata karena belas kasihan
agar tidak diingkari oleh mereka yang belum sampai, sehingga jika mereka
mengingkari kaum Sufi, mereka malah tersiksa dengan sendirinya, bahkan
tidak meraih manfaat selamanya.
Suatu hal yang menakjubkan dalam
thariqat ini, bahkan tidak dijumpai kecuali di dalamnya, bahwa tidak
satu pun dari kalangan disiplin ilmu, baik dari kaum logika, ahli
gramatika, ahli fisika dan matematika, kaum teolog dan filosuf,
melainkan mereka punya istilah yang harus tunduk pada disiplin mereka.
Kecuali kaum thariqat ini, maka, bagi murid yang benar manakala memasuki
thariqatnya dan segala istilah yang ada pada mereka, bermajlis dengan
mereka, dan mendengarkan sejumlah isyarat dan istilah mereka, para murid
ini mahaminya secara langsung, seakan-akan mereka inilah yang membuat
istilah itu, dan mereka bergabung dalam telaga ilmu itu.
Tidak
ada yang aneh dalam diri mereka, bahkan mereka menerima secara
naluriyah, tidak kontra sama sekali, demikian seterusnya, dan mereka
tidak tahu bagaimna mereka mendapatkan hal itu. Ini bagi murid yang
benar, tetapi bagi murid pendusta tidak mengerti sama sekali apa yang
didengar, tidak tahu apa yang dibaca, dan dalam setiap zaman para Ulama
tekstual-skriptural (ahli lahiriyah) senantiasa kontra dengan wacana
Sufi. Cukuplah dengan pengalaman Imam Ahmad bin suraij yang menghadiri
majlisnya Al-Junaid, kemudian ditanya, “Apakah anda memahami
kata-katanya?” Ia berkata, “Saya tidak tahu apa yang dikatakan Junaid,
tetapi saya menemukan kata-katanya yang menghujam dalam hati, yang
menunjukkan amaliyah batin dan kejernihan dalam jiwa. Kalamnya Junaid
bukanlah kalam yang batil.”
Kaum Sufi tidak menggunakan metafora,
kecuali pada kalangan yang memang bukan publik Sufistik. Dan bukan
rahasia lagi, bahwa munculnya kontra terhadap dunia Sufi sesungguhnya
muncul dari kaum yang dengki. Seandainya kaum pendengki itu bisa
menghilangkan rasa dengkinya dan menempuh jalan menuju kepada Allah
sebagaimana thariqat Sufi, pasti tidak muncul sikap kontra dan
kedengkian, bahkan ilmunya semakin bertambah. Tetapi faktanya memang
demikian, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha
Luhur dan Maha Agung.” (lihat Al-Yawaqit wal-Jawahir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar