Selamat berkunjung di blog ini, jangan lupa tinggalkan komentar anda, terima kasih....

Selasa, 03 Februari 2009

Menyikapi kejenuhan dalam hidup


Setiap manusia dalam menjalani hidup pasti mengalami kepenatan, kebosanan dan kejenuhan di tengah rutinitas sehari-hari. Terkadang manusia juga merasakan kekecewaan karena harapan, dan hasrat-hasrat yang tersembunyi tak tergapai.
Sebegitu membosankankah dunia ini? Apakah watak dunia memang sedemikian rupa, sedemikian rumit dan sedemikian bermasalah? Atau yang terjadi sebaliknya, masyarakat mulai tumpul hatinya, sehingga mulai mencari sisi-sisi lain dari kehidupan dan ruang wilayah yang selama ini digeluti?

seorang pembantu rumah tangga misalnya. Ia bangun pagi, , membersihkan rumah, lantai, dapur dan menyiapkan sarapan pagi kita. Sebegitu setia mereka berbuat, sebegitu tulus mereka bekerja.Tiba-tiba mulai muncul kejenuhan sebagai pembantu, karena mereka sedang berangan-angan, entah kapan menjadi juragan seperti tuannya. Padahal Allah memberi nilai bagus kepada pembantu itu, pada kesetiaan dan ketulusannya.

Seorang guru di sekolah, setiap hari mengajar para murid di sekolah, tiba-tiba berangan-angan, kenapa bertahun-tahun jadi guru nasibnya juga tidak berubah? Apakah ia tidak ingat ketika berjuang agar diterima menjadi guru ketika awal perjalanan karirnya dimulai? Padahal Allah sedang menilai keikhlasannya menularkan ilmu pengetahuan kepada ummat manusia. Mestinya ia mulai melihat betapa tanggungjawab membawa anak didik mereka ke masa depan, bukan hanya di dunia ini, tapi masa depan anak-anak itu sampai ke akhirat.

Seorang professional sedang giat-giatnya bekerja keras, lalu karirnya mencapai puncak yang diimpikan. Begitu sampai pada tahap puncak, ia mempertanyakan diri sendiri, apa yang sebenarnya saya cari selama ini? Kenapa kebahagiaan sejati tak kunjung tiba, dan kepuasan memburu materi dan karir juga tak henti-henti menggodanya? Ia kesepian, lalu diam-diam ia terlempar dalam kejenuhan sehari-harinya. Lalu dimana penilaian Allah terhadap perjalanan hidupnya selama ini? Pada kerja kerasnya? Ambisinya? Atau suksesnya selama ini? Semestinya ia mulai mengembangkan senyum dari bibir hatinya bahwa bekerja sesuai dengan keahliannya itu merupakan amanah Ilahi, dan Allah menilainya dalam rasa yakin, rasa ikhlas, rasa syukur dibalik gairah kerjanya itu. Allah sama sekali tidak menilai sukses dan gagalnya pekerjaan itu. Ambisi dan nafsu akan semakin membuat seseorang menjadi egois, sementara, semangat dengan rasa yakin pada Allah akan melahirkan rasa syukur dan keindahan kerja


Seorang ibu rumah tangga mulai jenuh sebagai ibu bagi anak-anaknya dan isteri bagi suaminya. Ironis sekali! Kerumitan dan problema, nafas dan keringat bertahun-tahun yang keluar dari dalam tubuhnya, diingatnya sebagai "nasib" yang belum menguntungkan. Lalu muncul alasan-alasan, "Kalau bukan karena anak-anak…Kalau bukan karena ini dan itu….Kalau bukan karena takut dosa… Kenapa bertahun-tahun begini dan begitu saja….? Seorang ibu rumah tangga akan terbebas dari kebosanan dan kepenatan kalau ia melihat bahwa kemuliaannya justru terletak pada kasih sayangnya kepada anak-anak dan suaminya, kesabaran dan kerelaannya menjadi induk dari sebuah generasi yang bercahaya di akhirat kelak."Ibunda yang mulia," adalah kalimat paling indah yang tak bisa dinilai oleh kesenangan-kesenangan sejenak atau harapan-harapan semu lainnya.

Seorang politisi, tiba-tiba frustrasi. Ia diganjal teman sendiri, lalu menghela nafas dalam-dalam, sambil mengungkit-ungkit prestasi perjuangannya selama ini. Politisi lain yang menanjak mulai meraup kemakmuran uang rakyat, tapi di hati kecilnya ada panggilan nurani, bahwa apa yang dilakukannya selama ini adalah dosa. Ia jenuh pula jadi politisi, yang hidup tanpa makna, tanpa rasa juang yang benar-benar berurai keringat, darah dan airmata….Benar-benar memikul amanah penderitaan rakyat. Kadang ia bermimpi menjadi rakyat biasa..Tapi tak siap juga… Kaum politisi akan terbebas dari penjara siasat liciknya di dunia politik, manakala ia memiliki keberanian moral merubah dirinya sebagai pejuang dalam menyampaikan amanat, bukan sebagai politisi. bukan sebagai penguasa wilayah, pemegang kekuatan apa pun.

Sebenarnya jika manusia mengenal masa depannya yang hakiki, kejenuhan itu akan berubah menjadi gairah yang luar biasa. Kita harus selalu optimis karena kita masih ditakdirkan sebagai orang yang beriman kepadaNya. Kejenuhan timbul karena manusia mulai kehilangan rasa syukur kepada Allah. Nikmat-nikmat Allah tertutup oleh sekadar kekecewaan atas sandungan masalah, problem besar dan kecil saat itu, lalu dinilai telah menghapus seluruh nikmat Ilahi. Padahal apapun kejadian yang menimpa kita baik yang berupa nikmat atau musibah adalah kehendak Allah untuk menguji keimanan kita. Apabila kita bersikap sabar dan tetap taat maka Tuhan akan mengangkat derajat keimanan kita. Semoga kita menjadi manusia yang selalu bersyukur dengan nikmatNya dan sabar dalam menjalani ujian hidup. Amin.

1 komentar:

yapidh mengatakan...

setelah saya membaca renungan ini,hati saya baru terbuka ternyata saat ini, saya kurang bersyukur kepada ALLAH SWT. Saya adalah ibu rumah tangga yang melakukan rutinitas yang sama setiap hari,mengurus suami,anak dan rumah. terima kasih atas renungannya.