Selamat berkunjung di blog ini, jangan lupa tinggalkan komentar anda, terima kasih....

Rabu, 18 November 2015

Sama' (Mendengar lagu dan Syair) I


Allah Swt berfirman: " Sebab itu sampaikanlah berita-berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik dantaranya." (Q.s.Az-Zumar:7-8).
Huruf alif dan laam pada kata al-Qaul di atas mengandung penger­tian umum dan menyeluruh (ta’mim wal istighraq). Sedangkan dalil di atas menekankan bahwa Allah swt. Memuji kepada mereka karena mengikuti kata-kata paling baik.Allah swt. berfirman: 
"Maka, mereka berada dalam taman surga, senantiasa bergembira." (Q.s. Ar-Ruum:15).
Dalam sebuah tafsir, ditegaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan dalilnya Sama' (mendengarkan dan menyimak).
Ketahuilah, bahwa mendengarkan (Sama') syair dengan nada yang indah, apabila pendengar tidak meyakini, syair tersebut tidak menjurus pada hal-hal yang haram, dan tidak mendengarkan sebagai obyek yang tercela dalam syariat, tidak pula menarik pada emosi hawa nafsu, tidak pula memberi peluang pada nafsunya, maka penyimakan tersebut diperkenankan secara umum.
Tidak ada perbedaan pandangan, adanya beberapa syair yang diden­dangkan di hadapan Rasulullah saw dan Rasul saw. menyimaknya, bahkan tidak mengingkari mereka dalam mendendangkan syair terse­but.
Apabila menyimaknya tanpa nada yang indah diperkenankan, hukum pun tidak berubah, yakni didendangkan dengan nada yang indah. Inilah realita situasionalnya.
Lalu, bagi para penyimak terdorong mencintai kepatuhan dan mengingat apa yang telah dijanjikan Allah swt. bagi hamba-Nya yang bertaqwa, dalam derajat-derajat yang lebih tinggi. Penyimak tersebut dimungkinkan sekali agar bisa menjaga dari kesalahan-kesalahan, menyampaikan kepada hatinya seketika, sebagai kejernihan intuitif, dicintai oleh agama, dan dipilih oleh syariat. Sebab pernah ada sabda Rasulullah saw yang mendekati bait-bait syair, walaupun Rasul saw tidak bermaksud membuat syair.
Anas bin Malik r.a. berkata, "Ketika orang-orang Anshar menggali parit, mereka mendendangkan syair:
Kamilah orang-orang yang baiat kepada Muhammad
untuk berjuang sepanjang hayat.
Kemudian Rasulullah saw menjawab:
Duhai Allah, tiada kehidupan sejati
Melainkan kehidupan akhirat.
Muliakanlah orang-orang Anshar dan Muhajirah

Wacana yang keluar dari Rasul saw tersebut bukanlah wacana syair, tetapi mendekati bahasa syair. Sejumlah ulama salaf dan para tokohnya terbiasa mendengarkan bait-bait syair yang didendangkan dengan lagu.
Di antara yang memper-bolehkan mendendangkan dengan lagu adalah Imam Malik bin Anas, dan Ulama Hijaz. Mereka semua memperkenankan nyanyian.
Sedangkan nyanyian yang digunakan oleh penggembala untuk gembalanya (hida') mereka sepakat atas kebolehannya. Banyak hadist dan atsar sahabat yang berkaitan dengan nyanyian tersebut. Sebuah riwayat dari Ibnu Jurayj, bahwa dia memperkenankan Sama’. Lalu dikatakan padanya, "Bila kelak hari kiamat engkau didatangkan, kemudian didatangkan kebajikan dan keburukanmu, maka pada dua sisi yang mana posisi Sama' Anda?"

Beliau menjawab, "Bukan dalam kebajikan, juga bukan dalam keburukan." Artinya, Jurayj menggolongkan sebagai perbuatan mubah.
Parit (Khandaq) adalah parit yang digali oleh Rasulullah saw bersama para sahabatnya di Madinah al-Munawwarah. Hal itu terjadi pada tahun 626 M, yang dijadikan sebagai benteng. Musuhnya adalah suku Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan. Pertempuran ketika itu disebut dengan Perang Khandaq.

Sementara Imam asy-Syafi'i r.a. tidak mengharamkan penyimakan lagu-lagu syair. Hanya saja makruh bagi orang awam, walaupun lagunya telah digubah, ataupun sepanjang penyimakannya diarahkan untuk permainan yang bisa menolak kesaksian, digunakan untuk hal-­hal yang bisa menjatuhkan harga diri, dan tidak dipertautkan dengan hal-hal yang diharamkan, maka tetap makruh.

Sama' kaum SufiNamun, yang dimak­sud dengan Sama' oleh kalangan Sufi bukannya demikian. Sebab mereka jauh dari penyimakan yang bersifat main-main untuk kese­nangan, atau duduk untuk kegiatan penyimakan dengan hati yang alpa, ataupun dalam hatinya mengandung khayalan kehampaan, bahkan tidak melakukan penyimakan dalam bentuk yang tidak propor­sional.
Ibnu Umar meriwayatkan beberapa hadis seputar diperboleh­kannya Sama'.
Riwayat lain dari Abdullah bin Ja'far bin Abu Thalib, dan riwayat dari Umar - semoga Allah swt.
Meridhoi mereka. Lagu-­lagu untuk gembala dan yang lain juga diperbolehkan. Beberapa syair didendangkan di hadapan Nabi saw, dan beliau tidak menolaknya. Bahkan ada riwayat Nabi saw pernah mendendangkan beberapa syair.
Dalam riwayat masyhur yang jelas, Nabi saw pernah memasuki tempat Aisyah r.a. dan di dalam rumah itu ada dua jariyah (budak perempuan) yang sedang menyanyi. Nabi pun tidak melarangnya.
Sebuah riwayat dari Aisyah r.a, bahwa Abu Bakr r.a. memasuki rumah Aisyah, sementara di rumah itu ada dua penyanyi wanita, yang menyanyikan lagu tentang kalangan Anshar yang bertikai dalam perang Bu'ats. Abu Bakr r.a. berkata, "Seruling-seruling setan! seruling-seruling setan!" Lantas Nabi saw bersabda, "Biarkan saja kedua penyanyi itu wahai Abu Bakr, karena setiap bangsa memiliki perayaan. Dan perayaan kita adalah hari ini." (H.r. Bukhari).
Juga riwayat dari Aisyah r.a, bahwa suatu ketika kerabat dari sahabat Anshar menikah, kemudian Nabi saw datang, dan bertanya, "Kau hadirkan gadis-gadis?" Aisyah menjawab, "Benar." Nabi saw berta­nya, "Engkau suruh orang yang menyanyi?" Aisyah menjawab, "Tidak." Maka Nabi saw bersabda, "(Betapa indahnya) seandainya engkau suruh orang yang mendendangkan: "Kami telah datang untuk kalian, kami telah datang untuk kalian; maka kehidupan kami adalah menyemarakkan kehidupan kalian’."
Rasulullah saw bersabda:
"Baguskanlah AI-Qur’an melalui suara-suara kamu sekalian. Sebab suara yang bagus akan menambah kebagusan Al-Qur’an." (H.r. Ibnu Azib, dan ditakhrij ad-Daramy).
Semua ini menunjukkan keutamaan suara yang indah. Rasulullah saw juga bersabda, "Setiap sesuatu memiliki perhiasan, sedangkan perhiasan Al-Qur'an adalah suara yang indah." (H.r. Anas dan dikeluarkan oleh adh-Dhiya' Abdurrazaq dalam kumpulan hadisnya).
Sabdanya lagi, "Dua suara yang dilaknati: Suara umpatan "Celaka!" ketika sedang mendapat musibah, dan suara seruling yang mengha­nyutkan.” (H.r. Al-Bazzar dan adh-Dhiya’, dari Anas bin Malik).
Pengertiannya, bahwa nada indah diperbolehkan kecuali dalam dua suara tersebut. Jika tidak demikian, pengecualiannya dibatalkan. Hadist-hadist soal ini cukup banyak. Bila menambah kadar dengan menyebutkan sejumlah riwayat-riwayat yang ada, akan menge­sampingkan maksud ikhtisar ini.
Di riwayatkan ada seseorang yang mendendangkan syair di depan Rasulullah saw:
Kuterima kebahagiaan untuknya
Dua bentangan bagai manik hitam
la kembali, dan kukatakan padanya
Sedang hati dalam nyala membara
Salahkah aku, berdosakah
iika kurindukan dia?
Maka Rasulullah saw menjawab, "Tidak."
Inilah, bahwa keindahan suara termasuk nikmat Allah swt. pada pemiliknya. Allah swt, berfirman: "Allah menambahkan pada ciptaan­Nya apa yang dikehendaki-Nya." (Q.s. Faathir: 1).
Dalam tafsir dijelaskan bahwa tambahan pada ciptaan-Nya itu adalah suara merdu.
Allah swt. mencela suara yang buruk. Firman-Nya,
"Sesungguh­nya seburuk-buruk suara adalah suara himar." (Q.s. Luqman: 19).
Hati selalu menikmati dan merindu pada suara yang merdu, rasa tentram akan muncul karena suara merdu, sesuatu yang tak bisa diingkari. Si bocah akan tenang bila mendengar nyanyian yang merdu. Begitu pula unta akan berjalan ringan walaupun membawa beban berat, bila mendengarkan suara-suara yang menghiburnya. Allah swt. berfirman, "Apakah mereka tidak melihat bagaimana unta diciptakan?"
(Q.s. Al-Ghaasyiyah: 17).
Dan Rasulullah saw juga bersabda:
"Allah swt. belum pernah mengizinkan terhadap sesuatu apa pun sebagaimana pemberian izin terhadap seorang Nabi, yang melagukan bacaan Al-Qur’an." (H.r. Abu Hurairah, dan dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawu4, Nasa’i dan Ahmad dalam Musnad-nya). (bersambung). 

Tidak ada komentar: